Roma, 21-23 Juli 2009
Termini adalah stasiun kereta
api terbesar dan tersibuk yang pernah aku lihat di Eropa. Ratusan bahkan
mungkin ribuan orang berdesakan di stasiun Termini. Hampir semua petunjuk arah
dalam bahasa Itali dan sangat sedikit dalam bahasa Inggris. Karena merasa
kebingungan, aku mencoba cari Tourist Information untuk booking kereta api ke Perugia untuk 2 hari kemudian.
Setelah melihat satu tanda panah Tourist Information dan bertanya-tanya ke
beberapa orang, yang sangat minim kemampuan berbahasa Inggrisnya saat mencoba
menjelaskan letak Tourist Information, ternyata seorang laki-laki gemuk besar
yang berdiri di tengah-tengah keramaian adalah petugas berseragam Tourist
Information. Sampai sekarang aku masih bingung, di mana kantor Tourist
Information di Termini? Mungkin orang gemuk besar itu yang disebut sebagai Tourist
Information? Dengan aksen itali yang kental dan keras, dengan ketus petugas
tadi menunjukkan tempat di mana aku bisa booking
tiket untuk ke Perugia. Culture shock! Sempat bikin panik, bingung, dan hilang arah.
Selesai dengan urusan tiket, kebingungan lagi aku cari terminal
untuk subway. Aku coba cari petugas Tourist Information yang tadi, tapi di
tengah ribuan orang, petugas yang berbadan besar itu seperti hilang ditelan
bumi. Aku bertanya-tanya lagi ke beberapa orang yang menunjukkan arah ke
terminal subway, tapi dengan papan petunjuk yang minim hampir selama 30 menit
aku hanya berputar-putar kebingungan tanpa berhasil menemukan terminal subway.
Entah dari arah mana, tiba-tiba datang bapak tua yang menegurku dan menanyakan
apakah aku perlu bantuan. Aku langsung bertanya kepadanya, “Where is the subway
terminal please?” dengan muka memelas dan bingung. Bapak tadi menawarkan diri
untuk mengantarku ke terminal Subway bahkan ikut mengantarku sampai stasiun
Cipro, tempat temanku Arianna akan menjemput.
Awalnya aku sedikit curiga karena memikirkan apakah niat Bapak ini
tulus atau ada maunya? Tidak banyak orang di Eropa yang mau menawarkan bantuan,
apalagi ditengah kesibukan aktivitas mereka. Mungkin ia menangkap
kekhawatiranku sehingga Bapak tadi menunjukan tanda panah ke arah subway ke
stasiun Cipro, bahkan membayar tiket subway untukku walaupun cuma Euro.1. Dengan
sedikit lega aku naik ke subway bersamanya dan bertanya kepadanya, “Why do you
want to be hassle to help stranger like me?” Dia bilang karena aku kelihatan
bingung dan perlu pertolongan, “and you are look like a good person,” katanya.
Bahasa inggrisnya lumayan bagus untuk ukuran orang Italy yang
berumur sekitar 70 tahun. Untungnya, dia satu arah perjalanan denganku, hanya
satu stasiun sebelum Cipro. Walaupun begitu, dia tetap turun bersamaku di Cipro
dan membawaku ke taman kecil dekat stasiun untuk menunggu kedatangan temanku.
Setelah yakin aku aman, Bapak tadi kembali ke stasiun sambil melambaikan
tangannya kepadaku. Suatu pengalaman yang memberikanku pelajaran berharga
mengenai arti saling tolong-menolong dimana saja dan kapan saja.
Esok harinya aku mulai jalan-jalan dengan subway ke Piazza del Popolo,
sambil mencari-cari Tourist Informaton buat ambil city map. Karena nggak ketemu
juga, akhirnya aku bertanya pada Polisi yang ada di sekitar Piazza del Popolo,
yang dengan ketus bukannya membantu menunjukkan, tapi malah bertanya dari mana
asalku dan maksud kedatanganku ke Roma. Dengan jengkel dan tanpa menjawab aku tinggalkan Pak Polisi di Piazza
del Popolo sambil bertanya kanan-kiri letak Tourist Information. Akhirnya ada
pasangan turis yang berbaik hati mau memberikan salah satu peta yang mereka
punya. Selalu datang pertolongan dari seseorang yang tak terduga.
Dari Piazza del Popolo aku jalan terus lewat Via Del Corso dan belok
ke arah Piazza Di Spagna, tempat Gereja Trinita dei Monti dan Spanish Steps
yang terkenal berada. Lanjut ke Piazza Poli, tempat Fontana di Trevi berada
dengan bangunan air mancur bergaya arsitektur Baroque dan merupakan salah satu
air mancur terkenal di dunia. Setelahnya aku menyebrangi jalan Via Del Corso
untuk pergi ke Piazza Della Rotonda, tepat Pantheon berada, yang merupakan
temple dari Gods of Ancient Rome. Lanjut ke Piazza Navona dengan air mancur 4
sungai dengan Dewa Obelisk ditengahnya. Lalu kembali jalan lumayan jauh ke
Piazza Venezia dan Piazza Campidoglia, yang bangunannya didesain oleh artis Renaissance dan arstitek
Michelangelo.
City tour dilanjut ke Foro Romano, yang merupakan kawasan seperti alun-alun
yang dikelilingi reruntuhan bangunan tua pemerintahan di pusat kota Roma.
Keudian jalan terus ke Palatino Colosseo, yang merupakan amphitheatre terbesar di pusat kota Roma yang pernah dibangun pada
masa Romawi. Tujuan selanjutnya adalah Domus Aurea, sisa reruntuhan bangunan
yang berada tidak jauh dari Colosseo. Sebelum kembali ke apartemen Arianna, aku
sempat mampir ke gereja Roman Katolik Santa Maria Maggiore.
Roma adalah salah satu kota favoritku dengan sejarah romawinya.
Mengelilingi tempat-tempat bersejarah di Kota Roma tidak cukup hanya dua hari.
Sayang sekali, saat itu aku hanya punya waktu 2 hari di Roma sehingga tidak
bisa melihat semua tempat. Kota Roma sendiri merupakan bagian dari sejarah yang
tidak bisa dilewatkan. Transportasi tidak harus dengan jalan kaki, selalu ada
subway ke tempat-tempat wisata, hanya dengan Euro.1 per sekali jalan dan bisa
dikombinasikan dengan jalan kaki untuk tempat yang berdekatan. Sangat penting
untuk punya peta di kota Roma, yang menunjukkan tempat wisata, stasiun subway,
dan nama-nama jalan yang tidak mungkin hanya bisa mengandalkan penjelasan lisan
penduduk setempat.
Ada ratusan, bahkan mungkin ribuan jalan di Kota Roma, termasuk
jalan-jalan kecil yang membingungkan. Turis yang baru pertama kali datang ke
Roma hampir tidak memungkinkan untuk jalan-jalan di Roma tanpa peta. Roma juga
merupakan salah satu kota di Eropa yang banyak memiliki piaza (alun-alun) yang jaraknya berdekatan satu sama lain. Saat itu
adalah bulan Juli, saat ketika panas bisa sampai 35 derajat celcius, ditambah
lagi dengan resiko harus berdesakan dengan banyak turis di semua tempat
wisata.
Malam harinya Arianna, Miki (pacar Ariana) dan salah satu teman mereka mengajakkku makan di salah satu
restoran Itali yang terkenal di Roma. Restoran Enzo
di Trastevere adalah satu restoran terkenal di Roma, yang terletak di salah
satu jalan sempit berbatu yang terkenal dengan masakan khas Roma. Restorannya
sendiri kecil dan tamu yang makan harus bergantian duduk dan memesan secepatnya
supaya tamu yang lain bisa bergantian masuk. Makanan Itali yang disajikan
seperti pasta, seafood, salad, ataupun daging yang dimasak sangat special, yang
sampai sekarang buatku adalah makanan Itali terenak yang yang pernah aku makan
di restoran.
Arianna memilih banyak menu makanan tipikal Roma seperti pasta
dengan keju, artichoke dengan olive oil, dan makanan lain yang tidak mampu aku
jelaskan satu-satu karena jenis dan rasanya yang luar biasa. Pelayannya sendiri
bersama pemilik tak berhenti-henti jalan keliling restoran menyajikan makanan
cara Itali yang bisa membuat piring dan gelas hampir berterbangan ke meja-meja
pengunjung. Arianna dan yang lain selalu saling tunjuk siapa yang mau bikin order karena takut bikin kecewa pelayan
yang bermuka keras dan bicara Itali non stop seperti kereta api setiap kita bikin
order baru karena berarti lebih lama lagi orang antri nunggu di luar Restoran. Untungnya bukan aku yang ditunjuk Arianna, bisa gemetaran dan shock duluan sebelum makanan sempat aku order.
Tentu saja mereka cuma bercanda, pemilik dan pelayan restoran
memberlakukan semua tamunya seperti keluarga dengan berbicara dan bercanda
keras dan hangat tipikal Itali. Suatu pengalaman menarik makan di Enzo Restoran, makanan
sangat lezat, suasana restoran yang kekeluargaan dan hangat penuh dengan canda
dari pemilik dan pengunjung. Kalau ada kesempatan datang ke Roma, jangan lupa
untuk coba mampir ke Enzo Restoran di Trastevere.
Setelah makan, kami jalan-jalan di sekitar Piazza Trastevere dan
melihat artis lokal yang cukup terkenal di daerah itu, pesulap Magaguada, yang
selalu mengadakan show di Piazza Trastevere setiap malam. Magaguada juga
terkenal karena beberapa penggemarnya meng-upload
aksi sulapnya ke Youtube. Malam hari, banyak orang-orang, terutama anak
muda, yang keluar untuk menikmati suasana hangat pada malam hari, untuk
menghindari panasnya matahari pada siang hari yang bisa sampai 40 derajat
celcius. Banyak toko-toko yang menjual barang-barang unik seperti sepatu
ataupun pakaian dengan model yang unik dan berbeda. Tidak mengherankan karena
Itali terkenal sebagai salah satu pusat mode di Eropa. Dalam perjalanan pulang
kami melewati daerah perbukitan yang bisa melihat pemandangan Vatican di malam
hari dengan cahaya gemerlapnya.
Pagi harinya, cukup dengan berjalan kaki dari Cipro aku menuju ke
Vatican City, yang termasuk di dalamnya adalah Saint Peter's
Basilica, Apostolic
Palace, Sistine
Chapel, beberapa museum dan bangunan lainnya. Apostolic Palace, yang
merupakan rumah tinggal Pope, dan Saint Peter Basilica terletak di alun-alun
Saint Peter yang dari jam 8 pagi sudah dipenuhi pengunjung. Saint Peter
Basilica mempunyai interior terbesar di antara semua Gereja Katolik di dunia.
Sayang sekali, aku tidak bisa berkeliling di dalamnya karena antrian yang
panjang. Ketika beranjak ke Sistine Chapel, ternyata sudah penuh antrian juga.
Karena waktu yang semakin siang dan sudah terlanjur janji untuk makan siang dengan
Arianna, aku jadi tidak bisa ikut ngantri dan masuk ke Sistine Chapel untuk
melihat lukisan terkenal dari Michelangelo. Segera aku jalan kaki ke Castel Sant’Angelo, yang
sekarang menjadi museum dengan patung Angel di puncaknya. Jalan masuk ke Kastil
dipenuhi beberapa patung Angel di kanan dan kirinya.
Setelahnya, aku kembali ke apartemen untuk makang siang bersama
Arianna. Arianna mengajakku ke restoran seafood milik keluarganya yang nggak
jauh dari stasiun subway Cipro. Pemilik restoran, Ayah Arianna, menyambutku dengan hangat dan
menaruh masakan seafood ala Itali seperti udang, kerang, cumi-cumi, dan ikan
secara melimpah-ruah di mejaku, yang sayangnya tidak bisa kumakan semua. Masakan seafood ala Italia dengan bahan bumbu sederhana sangat nikamat di makan saat siang hari yang panas. Selesai makan
siang aku segera kembali ke apartemen karena harus packing untuk ke Perugia sore harinya. Dari pengalaman dua
hari sebelumnya di Termini, saat mau ke Perugia aku datang ke stasiun Termini
sekitar 1 jam sebelum kereta berangkat supaya tidak kebingungan lagi dan punya
cukup waktu sebelum kereta berangkat karena kereta di Itali berangkat lumayan
tepat waktu sampai ke detiknya. Sedih juga harus meninggalkan Roma dan Arianna
yang sangat baik dan terus menawarkan untuk tinggal lebih lama, dan juga
beberapa tempat di Roma yang tidak sempat aku kunjungi. (bersambung)