Pages

Labels

Selasa, 24 Januari 2017

MBAK SEKAR RANTAU MACAU


“Traveling – it leaves you speechless, then turns you into a storyteller.” – Ibn Battuta


Ada, perempuan-perempuan yang rela menyeberangi samudra demi merantaukan nasibnya. Tak sekadar agar punya rumah tembok dan televisi layar datar di kampungnya, atau agar anak kesayangannya punya sepatu bersol kelap-kelip, tapi juga demi harapan agar jarak mampu mengobati luka-luka di hatinya. Perih akibat dikhianati, putus asa karena dianggap makhluk kelas dua tak berguna, malu dengan kodisii ekonomi keluarga. Saya berjumpa dengan salah satunya. Di pusat Senado Square, Macau. Lebih tepatnya, ia yang menemukan saya.

Kurang ajar, memang, baru beberapa bulan jadi copy editor baru sebuah penerbitan, saya sudah maju ke meja Pak Redpel dengan wajah sememelas mungkin. Berniat berutang cuti. Saya yang karyawan baru ini belum punya jatah cuti, kalaupun boleh harus dengan kondisi khusus dan itu pun memotong cuti yang kelak akan saya dapatkan. Terima kasih kepada Air Asia yang menghadiahi saya “kondisi khusus” ini setelah kompetisi menulis yang diadakannya. Hadiahnya sederhana saja: boleh pilih destinasi mana pun di Asia yang diterbangi Air Asia dan mereka yang akan menanggungnya. Salah saya kalau saya dengan senang hati menerima? Sambil memilin kumis, Pak Mul menjawab, “Yowes, jangan lupa oleh-oleh.” Saya selalu mendoakan bos-bos yang murah memberi cuti kepada stafnya agar selalu sejahtera!

Naluri manusia, dikasih satu pilihan bingung, dikasih banyak pilihan lebih bingung lagi! Brian, seorang teman asal Hong Kong, tiba-tiba saja riuh mengompori, “Just choose my homeland, I know you’ll love it! Come to see tiny island where I born.” Brian seorang perantau yang menyesap cangkir nafkahnya dari tambang-tambang mineral di Indonesia. Kegemarannya di Jakarta adalah naik taksi ke mana saja, bahkan sekadar keluar makan siang dari ujung ke ujung Sudirman. Tarif taksi di Jakarta yang “murah” dibandingkan Hong Kong membutnya tak mau repot-repot meminta fasilitas mobil dari perusahaan tempatnya bekerja. Kami berkenalan lewat komunitas Couchsurfing, dan sejak itu sering bertukar referensi destinasi.

Setelah menimbang apakah Srilangka ataukah Hong Kong-Macau, saya akhirnya memilih yang terakhir. Terkadang saya tak habis pikir, bagaimana Semesta bisa memilihkan arah mana dalam kompas hidup saya yang sebaiknya saya pilih. Meyakininya kadang kala tak terlalu susah, pilihan mana yang paling membuat senyummu lebar ketika terlintas dalam benakmu.

Jika waktu memberimu kesempatan untuk berjalan solo, ambil tanpa pikir panjang. Rasanya seperti ujian semester, untuk mencari tahu seberapa banyak hidup mengajarimu cara menjadi manusia. Ketika berjalan sendirian di tengah kerumunan orang asing, di negeri asing, dengan bahasa yang antah berantah di telinga, kau akan tahu cara untuk menyayangi dirimu sendiri.

Udara dingin November mengembusi kedua pipi saat keluar dari mansion tempat saya menumpang rebah semalam. Semalam, saya turun dari bus A21 rute bandara-Tsim Sha Tsui dan menemukan diri saya berdiri di ruas jalan yang semakin sibuk di jam pulang kantor. Billboard raksasa tampir mencolok terang di mana-mana, tak ada yang boleh terselubung gelap. Gerimis membuat saya buru-buru mengeluarkan payung lipat yang sengaja saya selipkan di samping tas, yang berakhir patah gagangnya entah bagaimana. Artinya saya harus rela dibaptis hujan Hong Kong penyambut selamat datang. Saya mendongakkan kepala ke langit, menjemput tetes hujan pertama saya di negeri ini, di tengah lalu lalang pekerja kantoran yang berjaan cepat sembari merapatkan jaket, diburu lapar didera lelah ingin segera menghela napas panjang.

Pagi ini, rasanya saya memilih elevator yang sekaligus portal waktu. Lampu-lampu papan reklame beragam ukuran sudah lenyap, sisa-sisa hujan memenuhi udara pagi yang lembap, dengan aroma samar jejak pesta jalanan malam sebelumnya. Semua terlihat lengang kelabu dari ujung ke ujung. Sambil menyusupkan kedua tangan di dalam kantong jaket, saya menjadi pelancong pertama yang menyapa jalanan Tsim Sha Tsui menuju dermaga penyeberangan ke Macau. Mengendap-endap di teras kota saat para pemiliknya masih pulas memimpikan negeri ini merdeka seutuhnya dari penguasa daratan.

Kapal feri penghubung Hong Kong dan Macau merapat menjelang siang dihantar ombak. Saya sepertinya salah waktu, Macau sedang jadi tuan rumah Grand Prix Formula 3 Kau akan tahu betapa dalam sebuah negeri dicengkeram peradaban suatu bangsa dari sisa-sisa peninggalannya.
Ketika tak cukup tahu ke sudut kota mana sebenarnya saya ingin pergi, indra kaki saya mengambil inisiatif dan mengarahkan tujuan ke titik paling standar di kota apa pun: alun-alun. Saya berterima kasih kepada siapa pun yang merealisasikan ide bahwa naluri berkerumun manusia harus difasilitasi dalam ruang terbuka massal semacam ini.

Saya sebenarnya ada janji temu dengan dua orang teman asal Jakarta yang kebetulan sedang melancong ke Macau juga. Sembari menunggu SMS kabar dari mereka, saya memilih duduk di bangku beton di tengah Senado Square, nama resmi yang tercantum dalam peta. Nama yang ternyata asing di lafal lidah penghuni asli kota ini. Saya baru tahu belakangan bahwa mereka biasa menyebut alun-alun kota mereka ini dengan nama Sarmalo Square. Ini hal yang biasa terjadi di Macau. Nama-nama papan jalan yang tertulis dalam Bahasa Portugis sekadar jadi pajangan saja bagi penduduk sekitar yang lebih paham aksara Tiongkok.

Momen paling mewah ketika memilih berjalan solo adalah ketika kau bisa terpekur bengong dengan syahdu di mana suka. Bangunan-bangunan tua peninggalan Portugis mengepung di segala penjuru kota. Jika semua orang sepakat berkostum ala abad ke-16 saat itu juga, tidak akan ada yang tahu zaman sebenarnya sudah berganti. Negeri ini memang belum lama berganti “juragan”. Kalau kau merasa Indonesia sudah sangat payah didera okupasi Belanda berabad-abad, kasihanilah Macau yang dari tahun 1557 sampai 1999 berada dalam pelukan erat Portugal. Ada satu perpustakaan lama yang sedang saya cari-cari lokasinya dalam peta wisata yang saya ambil di pelabuhan feri tadi.

“Sendirian?”
Saya pikir saya sedang mengarang dialog dalam kepala. Saya abai saja dan membiarkan ujung telunjuk sibuk menelusuri peta.
“Sedang menunggu teman?”

Astaga, benar-benar ada yang menyapa! Saat mendongak, di depan saya berdiri perempuan berambut panjang pirang dengan rok jeans selutut dan topi bowler merah di kepala. Wajahnya sangat Nusantara, saya tak perlu berpikir ulang dia warga negara mana.

“Oh, lagi nyari rute ke perpustakaan nih, Mbak,” jawab saya dengan senyum lebar. Disapa dengan bahasa ibumu selalu terasa menyenangkan, bukan?
“Sendirian? Kerja di sini?” berondongnya lagi, menghenyakkan diri duduk di samping saya. Aroma manis parfumnya kontras dengan udara kota tua di tengah terik siang.
“Lagi liburan saja, iya sendiri. Kerja di sini, Mbak…? jawab saya menggantung.
“Sekar, iya aku kerja di sini. Mbak siapa?” balasnya sembari menghulurkan salam.
“Aku Muthia Esfand. Sedang off, Mbak?” tanyaku memperpanjang obrolan. Jika tak sedang libur rasanya tak mungkin jam segini ia bisa bebas berkeliaran.
“Biasanya memang masuk sore, menjelang majikanku pulang. Biasalah, masak, bersihin rumah, sama ngurusin ibunya majikan yang sudah tua,” jelasnya, melepas topi merahnya untuk kipas-kipas. “Kok berani jalan-jalan sendiri?”
“Sudah biasa, Mbak, kadang asyik saja sih jalan sendiri, kenalan lagi sama diri sendiri,” jawab saya, sedikit beralih fokus ke sekelompok biarawati yang lewat bergerombol di depan kami. Hendak mengunjungi reruntuhan St. Paul mungkin.
“Eh, main ke rumah, yuk, daripada di sini sendiri, nanti aku temani jalan sebentar, sambil ke rumah majikan. Istirahat dulu aja yuk,” ajaknya sambil bergegas bangkit.
Tawarannya menarik juga, toh tak ada salahnya juga. Hitung-hitung dapat teman baru sambil ngaso istirahat dan shalat.
“Wah, boleh juga, Mbak,” sambut saya dengan senyum penuh.

Kami berdua berjalan bersebelahan menyusuri paving blok Senador Square ke arah jantung kota tua. Di setiap langkah yang jatuh menapak lantai batu, yang terbayang malah pertanyaan tentang siapa saja yang dahulu pernah menapaki jalanan ini. Sepasang kekasih? Sekumpulan anak sekolah? Para opsir berlogat Inggris Raya? Atau seperti saya, musafir solo yang merelakan kenyamanan rumah sekadar demi mereguk pengetahuan dan pengalaman baru. Pusat kota tua Macau ini sepertinya tak pernah mati disambangi pelancong. Papan petunjuk jalan dalam dua bahasa: Portugis-Inggris menjadi pemandu jalan para pendatang.

“Muthia asli mana? Kalau aku dari Malang,” cakap Mbak Sekar sambil membetulkan letak topinya.
“Sama, Mbak, aku dari Jawa Timur juga,” sahutku.
“Mampir sebentar, nggak apa-apa? Mau ke warung,” tanya Mbak Sekar.
“Santai, Mbak, mampir aja.”
Ia berbelok masuk ke lorong kecil di antara dua toko oleh-oleh. Apa yang ada di ujung lorong sepertinya menjadi tujuan utamanya. Warung? Saya pikir maksudnya supermarket atau semacam restoran, ternyata benar-benar “warung” seperti yang bisa saya jumpai di sekitar rumah saya di Depok.

Warungnya kecil saja, sekitar empat kali empat meter. Beberapa gadis perantauan memilih-milih sayuran dan buah yag ditata di bagian depan. Obrolannya dalam bahasa yang familier di telinga saya. Kardus-kardus Indomie bertumpuk di sudut, kopi instan sasetan berjuntaian.

“Eh, Sekar, ke mana saja nggak pernah keliatan?” tanya seorang ibu yang duduk di balik kasir, sang pemilik warung tampaknya. Ia bertanya dalam bahasa khas Jawa Timur. “Sekar, siapa namamu dulu itu? Sekarang jadi ayu tenan, lho,” ucapnya lagi sambil tertawa kecil. Komentarnya sedikit membuat alis kiri saya naik, rasa penasaran yang saya telan diam-diam.

Sekar menanggapi dengan senyum, menyodorkan beberapa barang yang dicarinya untuk dibayar. Semua pembeli sepertinya saling kenal. Macau memang kecil saja, tempat semacam ini pastilah akan jadi favorit para perantau. Obat rindu citarasa kampung halaman. Selesai dengan belanjaannya, ia memberi saya kode untuk mengikutinya keluar. Ada calon yang pertanyaan yang cepat-cepat ingin dihindarinya, mungkin.

Kami kembali menyusuri jalanan utama, melewat toko-toko jajanan yang berebut menyerbu para pejalan dengan aroma kue baru matang dari oven. Di depan setiap toko kue selalu ada pegawai toko dengan senampan makanan tester. Lapar, tinggal comot, begitu terus bolak-balik pasti kenyang. Lumayan, hemat uang saku. Di jalanan yang menyempit dijejali pelancong, saya mengekor di belakang Mbak Sekar. Sesekali menengok ke arah kios Portugese Egg Tart, resep asli dari masa pendudukan. Kalau tak ingat harus bersopan-sopan dengan Mbak Sekar, saya sudah kabur melahap satu dus kue itu. Jajanan paling enak seantero Macau. Membayangkan tekstur lembutnya menyapa lidah saya, mentega dan telur berpadu manis, menggoyahkan iman saya. Murahan sekali!

Saya sebenarnya bertanya-tanya, di bagian mana kota tua ini Mbak Sekar tinggal. Pertanyaan yang terjawab ketika ia berbelok masuk lagi ke jalanan yang lebih kecil dan berhenti tepat di depan deretan rumah dua lantai, lebih mirip deretan ruko.

“Aku tinggal ramai-ramai sama yang lain. Sebentar, ya, lupa tadi enggak bawa kunci,” ucapnya terkekeh kecil. “Rin, rin, bukakne pintune!” serunya dalam bahasa Jawa, ke arah jendela di lantai dua. Ada kepala berekor kuda yang menyembul dari balik tirai jendela lantai dua, menggelengkan kepala tanda permakluman lalu lenyap lagi. Pintu dua lapis pun terbuka, sosok seusia Mbak Sekar menyambut dengan senyuman saat melihat ada saya yang mengekor di belakang temannya.

“Ini Muthia, tadi ketemu di Sarmalo,” ucap Mbak Sekar memperkenalkan. Saya mengangguk dan mengikuti mereka menuju tangga ke lantai atas.
Sepertinya ini semacam rumah sewa yang dibagi-bagi menjadi beberapa bagian. Di ujung tangga, ada tiga pintu yang terlihat, mereka berdua memilih pintu yang paling tengah.
“Yuk, masuk, maaf ya kalau seadanya, namanya juga perantauan.”
Beberapa perempuan sedang asyik dengan aktivitasnya masing-masing di dalam kamar. Bagian tengah tampaknya ruang bersama, dengan tambahan ranjang tingkat di sudutnya. Seorang perempuan berambut cepak sedang menyelonjor malas.
“Sekar, bawa titipanku… eh, ada tamu tho…” Sebuah kepala melongok dari balik pintu kamar satu-satunya di ruangan itu.
“Hai, Mbak,” sapa saya canggung.
“Di sini kami tinggal ramai-ramai, Muthia, itu Rini, kerjanya di kasino, yang lagi tiduran itu Dian, kerja di restoran tapi lagi shif malam. Yang tadi bukain pintu Ratna. Satu lagi sedang pulang kampung,” jelas Mbak Sekar memperkenalkan teman serumahnya. “Muthia ini lagi jalan-jalan sambil nulis,” tambahnya lagi. Mereka bertiga menyalami saya dengan hangat, sebelum kembali dengan kesibukan sendiri-sendiri.

Saya duduk menyelonjorkan kaki di atas karpet yang digelar di depan televisi layar datar. Kantuk mulai merayu pelupuk mata. Tempat tinggal mereka tidak terlalu besar, tapi auranya terasa seperti rumah, yang menjadi saksi hening denyut rindu kampung halaman di seberang samudra. Dengkuran halus terdengar dari ranjang tingkat di sudut. Desis minyak panas di atas kompor jadi instrument pengantar tidur. Entah apa yang sedang digoreng Ratna, aroma manisnya membuat ekor mata saya mencuri-curi pandang kea rah dapur.

“Muthia, ajarin aku nulis, dong,” ujar Mbak Sekar tiba-tiba, sambil ikut duduk di sebelah saya. Menata kue-kue dari dalam plastik yang sedari tadi dibawa-bawanya ke atas piring kosong di hadapan saya. “Aku sering nulis, awalnya buku harian begitu. Lama-lama coba nulis cerpen, tapi pasti enggak bagus kalau dibandingkan kamu.”
“Wah, keren dong, Mbak, masih sempat nulis. Masih sampai sekarang, Mbak? Kalau mau kirim saja nanti ke email-ku, nanti bisa kita diskusikan kok isinya dan maunya Mbak Sekar nulis yang bagaimana.” Saya sudah sering mendengar kabar bahwa pekerja migran asal Indonesia di Hong Kong termasuk yang aktif dan produktif menulis. Rata-rata menuliskan pengalaman dan gejolak kebatinan yang mereka rasakan sehari-hari. Menulis memang seajaib itu, obat tenang jiwa yang lebih ampuh dari racikan mahal apa pun. Tak selamanya apa yang disimpan kepala dan hati bisa terus bisa ditahan-tahan untuk tak dikeluarkan. Menuangkannya dalam baris-baris aksara berarti membagi beban hati-kepala kepada indra lainnya.
“Eh, beneran boleh kirim email? Apa alamatnya?” Ia lalu buru-buru menggeledah tas tangannya, mencari selembar kertas dan pena, menyorongkannya ke depan saya, yang segera saja saya isi dengan alamat email saya. Saya mau menjadi tempatnya berbagi cerita dalam deretan abjad, jika itu bisa membuatnya bahagia menjalani hari-hari perantauan.
“Apa yang biasa ditulis, Mbak?” tanya saya, dengan tangan kanan mencomot sepotong kue yang disodorkan ke depan saya.
“Yah, pengalaman pribadi sih. Awalnya aku nulis kecewa sama suami di kampung. Sudah jauh-jauh merantau, malah ngabisin uang yang aku kirim. Mana anak jadi enggak keurus,” curhatnya. “Lama-lama jadi ngerasa nulis itu ternyata lumayan bisa bikin lega hati dan pikiran. Daripada dipendam, iya kan? Eh, jadi mau jalan-jalan? Aku bisa nemenin sebentar,” tutup Mbak Sekar, seperti enggan melanjutkan lagi keluhnya. Saya bisa apa, selain mengikuti saja kemauan sang nyonya rumah. Jika ingin dunia tenteram damai, perempuan itu harus dituruti perubahan suasana hatinya, baru bernegosiasi setelahnya.
“Saya sih senang banget, Mbak, kalau mau nemenin. Perpustaan tuanya enggak jadi deh, kita ke Venesia saja yuk,” sambut saya. Ya sudahlah, kali ini saya berbelok tujuan ke tepian Macau, ke tempat jantung perekonomian kota ini berdegup kencang: mega kasino. Judi adalah citra kota yang sebenarnya, deretan bangunan tua hanyalah kemasan humanisnya. Seperti nadi utama yang tanpanya kota akan perlahan sekarat. Paling tidak, begitulah keyakinan masyarakat setempat.
“Sekar, Mbak Muthia, aku pamit jalan dulu ya,” pamit Rini tiba-tiba sambil keluar dari kamar. Sudah cantik dalam dandanan semacam baju seragam dan pulasan make up tipis.
“Rini ini kerja di kasino yang ada di depan pelabuhan feri, tadi kamu pasti ngelewatin,” terang Mbak Sekar.
“Kerja di kasino enak, Mbak, gajinya lumayan, ada hari liburnya, bisa tinggal di luar juga. Nggak kayak kalau jadi asisten rumah tangga, harus tinggal di dalam. Susah keluar,” sambung Rini tanpa melihatku, sedang sibuk memasukkan kaki jenjangnya ke dalam sepatu berhak tinggi. “Yowes, aku duluan ya, assalamualikum…” Dan ia pun berlalu menuju hari-hari takdirnya sendiri.
“Kok Mbak Sekar bisa tinggal di luar begini? Biasanya bukannya harus tinggal bareng sama majikan?” tanya saya penasaran.
“Iya biasanya begitu, tapi majikanku untungnya baik banget. Dia polisi. Jadi aku datang jam-jam tertentu saja, yang penting beres. Mau cari kerja lain aku enggak terlalu punya skill.  Kadang aku iri lho sama perantau yang dari Filipina, mereka rata-rata sudah bisa bahasa Inggris. Sudah gitu pemerintahnya di sini peduli banget, sering ada kursus computer macam-macam. Makanya orang Filipina di sini dapat kerjanya bagus-bagus. Kalau sudah bisa bahasa Inggris ditambah computer, gampang kerja di kasino atau yang kantor. Kalau nggak ya paling di restoran atau rumah tangga. Tapi, yah, paling enggak lebih enak di sini daripada di Singapura atau Hong Kong, di sini mudah tinggal di luar dan cari rumah yang masih lumayan terjangkau.” Terangnya panjang lebar.
“Memang KBRI sini enggak bikin acara atau pelatihan rutin gitu, Mbak?” selidik saya penasaran.
“Jarang banget. Lebih seringnya teman-teman di sini yang rutin biin acara. Kadang pengajian, kadang pentas seni, kadang ya kumpul-kumpul saja bawa makanan sendiri-sendiri. Beda deh sama kedutaan negara lain.”

Sudah lama sekali dipendam sepertinya apa yang dicurahkan Mbak Sekar kepada saya barusan. Hidup di negeri sendiri saja terkadang berat, apalagi hidup di negeri orang dengan segala keterbatasannya. Megharap perwakilan resmi pemerintah untuk benar-benar peduli menjaga dan memperjuangkan kesejahteraan mereka pun kadang seperti berharap gaji bulanan naik setiap hari. Sia-sia. Jadi jangan salahkan jika peluang ini dihisap oleh agen-agen penyalur tenaga kerja tak berizin yang tak jarang semakin mempersulit hidup mereka.

“Sambil jalan, yuk, biar enggak kesorean,” ajak Mbak Sekar sebelum saya sempat mangap mengajukan pertanyaan lagi.

Saya membantu membereskan piring kue ke dapur. Kardus mi instan tergeletak di sudut dapur. Ramuan pamungkas penawar kangen. Beberapa barang di dapur tampat familier, mereka seperti ingin memampatkan jarak di markas perlindungan ini. Agar seolah-olah mereka tinggal bersebelahan dengan orang-orang terkasih di jauh sana. Seperih-perihnya hati dilukai orang terdekat, tetap saja mendenyutkan rasa rindu ingin melihat muka. Aroma cabe pedas bercampur sisa minyak goreng terjebak di atap dapur.

Mungkin saya sulit punya kesempatan mampir lagi ke rumah mereka ini. Mungkin mereka hanya sekadar jadi orang-orang asing yang bersilang jalan dengan saya dan tinggal menjadi kenangan. Sama seperti nama-nama lainnya yang pernah singgah dan jadi bagian sejarah. Tapi saya yakin Tuhan beri kesempatan untuk bertemu Mbak Sekar dan teman-temannya dengan tujuan tertentu. Saya hanya perlu mencari tahu sebelum punggung kami sama-sama membelakangi dan berjalan ke arah takdir masing-masing.

Sisa terik masih terasa di luar ketika kami membuka pagar dan beranjak ke jalanan utama. Bagian dalam rumah yang remang-remang, kontras dengan terang benderang suasana jelang sore. Riuh derap sepatu di jalanan batu yang berpadu dengan segala macam bahasa, yang tadinya teredam seketika di dalam rumah, kini kembali menyerbu gendang telinga. Di ujung lorong, kami berbelok ke kanan, kembali ke area utama alun-alun tempat halte bus berada. Saya menengok sekilas ke reruntuhan gereja St. Paul di kiri saya, daya tarik utama kawasan ini. Arsitekturnya mirip dengan gereja-gereja Katholik lama di sepenjuru Filipina. Spanyol dan Portugis, meski selalu bersaing berabad-abad, tetap berbagi cinta dalam kemiripan gaya bangunannya. Jangan benci dalam-dalam, jangan cinta sampai mati, karena bedanya tipis saja untuk pindah perasaan.

Ketika melewati jalanan batu yang menyempit dan sedikit menurun, saya bertemu lagi dengan para penjaga toko kue dengan nampan testernya. Tak mau rugi, sambil mendengarkan cerita Mbak Sekar yang berlanjut, aksi comot sana-sini tetap saya lancarkan. Kali ini korbannya toko kue yang mencual biskuit mentega bertabur kacang walnut yang langsung kress, meremah lembut di dalam mulut. Terbaik!

Para pelancong tak lagi menjejali jalanan, sebagin besar melipir masuk ke kafe-kafe di sepenjuru Senado Square. Menikmati teh Oolong dengan sepiring penganan Portugis. Sambil membolak-balik daftar tujuan wisata dan jadwal feri. Kami menunggu bus kota di halte pertama tak jauh dari Senado Square. Tujuan kami adalah Venetian Macau. Ya, ya, ini memang kasino, tapi yang terbesar di Macau, lengkap dengan pusat belanja, hotel, dan sarana hiburan. Melongok sebentar tak masalah, kan?

“Katanya ada bus gratis ya, Mbak?” Tanya saya penasaran dengan info yang sering say baca.
“Ada, tapi jarang. Naik umum saja, murah kok,” jawab Mbak Sekar. Yah, namanya juga fasilitas gratis!

Bus nomor 21A yang ditunggu berhenti presisi dengan decit rem yang keras di hadapan kami. Satu per satu penumpang turun dan naik bergantian. Saya mengekor di belakang Mbak Sekar.
Dua kursi penumpang tersisa, yang langsung saja kami tempati. Suara-suara balapan masih terdengar. Entah sudah berapa kali para pembalap GP Formula 3 itu memutari rute yang sama. Berputar terus demi podium pertama. Gedung-gedung tua yang disulap jadi hotel dan kasino berselingan di kanan-kiri jalan raya. Dua orang perempuan Indonesia duduk di depan kami. Bercakap tentang pekerjaan dan rencana kembali ke kampung. Nada antusias dalam obrolan mereka sudah jadi jawaban betapa bahagianya si mbak yang berencana mudik itu.

“Enggak berencana balik, Mbak?” tanya saya melirik Mbak Sekar yang duduk dekat jendela.
Ia tak langsung menjawab, malah tetap melempar pandangan ke luar jendela bus. Saya menyesal menyentuh bagian dirinya yang paling sensitif. Siapa sih yang tak mau pulang ke rumah? Bodoh sekali pertanyaan saya barusan.
“Pengin, pasti, tapi di sana nanti ngapain? Suamiku katanya sudah kawin lagi. Padahal aku banting tulang buat bantu keluarga. Karena sudah lama berantem terus itulah aku pindah-pindah negara jadi TKW. Di Singapura pernah, di Hong Kong pernah. Pernah juga akhirnya memutuskan pulang, tapi ya di sana malah jadi enggak produktif. Akhirnya balik ke Hong Kong terus ke sini. Di sini sudah ngerasa nyaman, majikan baik, pekerjaan bisa ngikutin. Lagian, kalau pulang ribet nanti urusan di bandara. Yang malakin sadis!” kalimat terakhir diucapkannya dengan nada geram yang tipis. Apa lagi ini?
“Maksudnya, Mbak?”
“Di bandara Jakarta TKW selalu dimintain duit. Makanya rata-rata sebelum pulang uang sudah dikirim dulu ke rekening di sana biar aman. Yang dibawa tinggal buat ongkos saja. Pernah, ada temanku yang pulang bawa laptop yang baru dibeliin sama majikannya. Sampai bandara Jakarta, mau keluar imigrasi, ditanya harga laptopnya berapa, disuruh bayar senilai laptop itu! Gila, kan? Temanku marah-marah, kata dia itu laptop dikasih sama majikannya karena dia suka nulis. Tahu enggak dia akhirnya gimana? Dibanting itu laptop di depan si petugas sampai pecah berantakan, dilihatin banyak orang. Terus dia langsung keluar.” Mbak sekar membuang pandangannya keluar jendela, ke arah selat Macau yang ada di sisi kiri jembatan yang sedang kami lewati. Seperti ingin membuang kesal jauh-jauh.

Kesal yang paling ultima adalah ketika diri tak kuasa mengubah keadaan. Tak kuasa melawan sampai titik penghabisan. Saya bingung mau berkomentar. Pengalaman beraktivitas di sayap perempuan sebuah organisasi mahasiswa, rasanya tidak ada apa-apanya dengan apa yang dialami Mbak Sekar dan teman-temanya. Wajar jika mereka enggan pulang, tidak tertarik terlibat dalam pembangunan negerinya sendiri dan malah berjibaku membangun negeri orang lain. Rasa rindu tanah air dikaburkan dengan rasa takut berhadapan dengan oknum-oknum berseragam yang katanya satu tanah air satu bangsa. Tak main-main taruhannya, tabungan setahun yang dikumpulkan susah payah bisa musnah begitu saja jika tak pintar-pintar menyiasati. Bayangkan saja, ada berapa ribu TKW lain yang tidak secerdik Mbak Sekar dan teman-temannya di sini yang mengamankan dulu “asetnya” sebelum pulang.

“Cari lagi saja, Mbak, di sini. Siapa tahu ada cowok Macau ganteng kaya raya,” goda saya mengalihkan sedihnya.

“Ah, malas sama laki-laki. Paling sama saja. Aku punya teman dekat kok di sini, cewek tapi, teman ngobrol dan curhat saja sih. Cuma itu kan kadang yang perempuan butuhkan?” Jawabannya membuat alis saya naik sebelah. Saya manggut-manggut saja.
“Mau lihat fotoku dulu?” Sebelum saya sempat menjawab, ia sudah mengeluarkan telepon genggamnya, mencari folder foto dan merapatkan tubuh lebih dekat ke arah saya. “Ini aku dulu, beda banget ya?” Tawa renyahnya pecah lagi.

Di dalam foto-foto yang disodorkannya kepada saya, bukan sosok perempuan berdandan seperti yang tadi menyapa saya di alun-alun, melainkan sosok perempuan berambut pendek dicat merah terang, dengan celana jean dan kemeja kotak-kotak, lengkap dengan gelang ala penyanyi rock. Saya meliriknya, yang disambut dengan senyum lebar seolah tahu apa yang ada dalam kepala saya.

“Kok berubah, Mbak?”
“Enggak tahu juga, pengin berubah saja tiba-tiba. Itu dulu awal-awal di Hong Kong terus pindah ke sini. Dulu aku dipanggilnya bukan Sekar, tapi Eka, biar lebih keren gitu,” kekehnya lagi.
Ingatan saya mundur ke belakang beberapa jam lalu saat kami mampir di warung Indonesia. Pantas saja sepertinya si ibu warung sempat menyinggung perubahan ini sambil memancing menggoda. Ah, namanya manusia, berubah hal biasa. Semua punya alasan dan sebab, siapakah saya hingga bisa cepat melabeli.

Ia lalu menekan lagi teleponnya ke foto-foto lainnya, hingga tiba di sebuah foto dirinya berdua dengan seorang perempuan. Mereka sedang berboncengan sepeda. Penampilan mirip dengan dengan Mbak Sekar di foto-foto lamanya. Hanya tidak seeksentrik Mbak Sekar dengan rambut merah dan gelang-gelang metal.

“Ini Dias, teman dekatku, yang tadi kuceritakan,” jelasnya sambil mengusap layar teleponnya. Saya tak mau menerjemahkan senyum malu-malu yang terbit dari bibirnya. Takut salah-salah.

“Kami punya rencana nabung bersama, nanti pulang kampung bareng dan bikin usaha. Biar enggak usah balik lagi ke sini. Buka warung dan semacamnya. Niatnya juga bulan depan dia tinggal bareng aku di rumah. Rini kontraknya mau habis, katanya enggak perpanjang lagi. Muthia punya pacar di Indonesia?”

Saya cuma menjawab dengan senyuman. Ah, komplikasi hidup saya rasanya bukan untuk didengarnya. Kali ini tugas saya jadi pendengar yang baik untuknya. Orang asing tempatnya menitipkan cerita, rahasia, dan rencana, yang barangkali lebih dipercayainya dibandingkan keluarga dan teman dekat. Kau akan terkejut ketika memahami betapa kadang kita memang seperti itu, lebih percaya orang lain yang baru kita temui lima menit, dibandingan orang yang bertahun-tahun menemani kita di segala musim.

Bangunan megah Venetian Macau menjulang di hadapan bus yang perlahan melewati gerbang utamanya. Sepertinya tinggal pelancong dan pegawai shif malam yang tersisa di atas bus.
“Aku temani sebentar terus aku langsung jalan lagi ya, nanti dari sini gampang kok, naik langsung yang ke pelabuhan atau kalau mau ke kota lagi juga gampang,” ucapnya ketika kami bangkit bersiap turun.

Wajar saja para pengadu keberuntungan gemar ke kasino ini. Balutan entertainnya kental sekali. Semua ada di dalamnya. Pusat belanja, restoran, hotel kelas atas, area bermain dan hiburan. Mereka pasti betah berhari-hari di sini tanpa keluar gedung. Hingga keping terakhir musnah dilahap ketidakberuntungan. Tepat di tengah pusat belanja, kanal luas yang dibuat semirip mungkin dengan Venesia dan gondolanya menjadi tempat berkumpul utama para pengunjung.

“Sampai sini saja, ya, aku harus balik lagi. Kalau mau lihat-lihat kasino di bawah boleh kok, ya lihat-lihat saja. Sampai ketemu lagi, Muthia, nanti aku benar ya kirim email tulisanku,” pamitnya.
“Siap, ditunggu lho, Mbak. Kalau pas main ke Jakarta kabarin ya, makasih banyak sudah dibantu dan dtemani.” Balas saya mengucap kata pisah.
“Pasti, salam buat kekasihmu yaaa!” tutupnya sambil menyalami dan memeluk saya sekilas, lalu berbalik badan bergegas mengejar bus berikutnya. Mengejar masa depan yang ia rencanakan pelan-pelan, tak peduli sepahit apa hidup sudah memperlakukannya.

Saya menatapnya hingga tenggelam ditelan serombongan turis asing yang baru masuk. Menatapnya sampai lenyap sepenuhnya dari pandangan saya. Saya tahu tipis kemungkinan kami akan berjumpa lagi. Dua orang yang sebelumnya asing, perlahan kembali asing.


Dan, saya pun akhirnya berbalik badan, mencoba menulis lagi cerita baru dalam lembar kehidupan saya yang berikutnya. Lembaran yang entah akan saya tulisi dengan kisah tentang apa. Tentang siapa.


(esfand)