Konon,
hikmah adalah harta karun milik manusia yang menyerpih di sepanjang jalan.
Tergantung manusianya, mau berjalan dan memungutinya atau melewatkannya begitu
saja.
Hujan
sore di penghujung Mei 2013 membuatku menaikkan tudung hoodie ungu rapat-rapat, kemudian segera menyandang Deuter pinjaman
warna biru dan bergabung bersama antrean penumpang bus Partas rute Manila-Vigan
di depo Partas daerah Cubao. Koper-koper besar dan bungkusan lainnya ikut
berjajar di dekat bagasi, menunggu giliran untuk tergeletak hangat di samping
mesin. Sepertinya banyak yang berniat pulang kampung, atau mungkin sekadar
berlibur akhir pekan. Udara yang dingin bersenyawa dengan aroma hujan yang
terasa kurang familier di hidung. Setiap kota punya aroma hujannya
masing-masing.
Semua
kursi hampir terisi penuh rupanya, sekilas kulirik potongan tiket di tangan,
memastikan nomor kursi yang kubeli. Seorang laki-laki berseragam Partas
menghampiriku dengan berondongan kalimat Tagalog. Tak terlihat asingkah wajah
Jawaku? Tanpa tahu harus menjawab apa, kuacungkan tiket seharga 600-an peso dengan
kerlingan ala kadarnya dan melangkah ke bagian dalam bus.
Sepertinya
teman seperjalananku sudah lebih dahulu duduk. Perempuan Filipina yang kutaksir
berusia lima tahun di atasku. Astaga, bawaannya sebanyak itu? Lantas, di mana
aku bisa duduk? Tampaknya ia tahu bahwa aku adalah pemilik kursi di sampingnya,
ia segera saja berdiri dan menyapaku dalam bahasa Tagalog.
“Sorry,
I can’t speak Tagalog,” jawabku buru-buru, sebelum ia menghabiskan satu halaman
pertanyaan.
“Oh,
oke, kamu duduk di sini? Sebentar, biar saya bereskan dulu barang-barang saya,”
ujarnya dalam bahasa Inggris sambil mulai sibuk merapikan barang. Sebagian
dipaksanya ikut berjejalan dengan barang lain miliknya di bagasi atas tempat
duduk. Mirip pemudik lebaran.
Kursi
di samping jendela akhirnya berhasil kududuki. Spot favorit untuk menikmati
perjalanan darat ke bagian utara Pulau Luzon, salah satu pulau besar di
Filipina tempat ibu kota negara berada. Bulir-bulir hujan mulai menghiasi
jendela kaca, memaksa siapa saja untuk sesaat terdiam dan mengenang. Hujan
mungkin hadiah Tuhan bagi manusia yang butuh momen untuk menikmati kedamaian.
“Saya
kira kamu orang Mindanao, ternyata bukan Filipino?” perempuan di samping saya
tiba-tiba berkomentar.
“Ah,
bukan, saya dari Indonesia, Jakarta,” jawab saya dengan senyuman. Sejak hari
pertama mendarat di Manila, entah sudah berapa orang yang mengira saya orang
setempat.
“Oh,
Indonesia? Saya punya banyak teman dari Indonesia. Saya kerja di Hong Kong,
asisten rumah tangga….” Dan mulailah ia bercerita tentang pekerjaannya dan
teman-teman Indonesianya yang sulit berbahasa Inggris. Ceritanya mengalir
seperti air bah, seperti keran yang lama tidak dibuka. Rupanya ia bagian dari
ratusan ribu pekerja Filipina yang ada di Hong Kong, sedang cuti kerja dan baru
mendarat beberapa jam lalu. Sambil
bercerita, ia mengeluarkan beberapa kotak cokelat dari tas tenteng di dekat
kakinya.
“Cokelat?
Tanyanya sambil menyodorkan sekotak ke arahku. “Halal, no pork,” tambahnya lagi
sambil tertawa. Kucomot beberapa denga sigap. Lumayanlah, pengganjal perut yang
sejak pagi baru diisi fish burger
McD.
Tak
hanya aku yang ditawari ternyata, dengan meriahnya ia menawari penumpang lain
di dekatnya, lalu memanggil kondektur bus dan menyodorkan beberapa kotak
kepadanya. Membuatku berprasangka, jangan-jangan semua tas yang dibawanya ini
berisi cokelat. Slurp.
Tampaknya
bus mulai melaju ke luar kota. Hujan turun dengan rata. Semoga cuaca Vigan esok
hari cerah ceria. Aku tak punya tujuan utama di Filipina selain datang ke Ciudad Fernandina de Vigan, 408 km dari
Manila. Kota tua bergaya hispanik peninggalan Spanyol dari tahun 1572 yang
menjadi bagian dari world heritage site
UNESCO.
Vigan
City yang menjadi bagian dari Provinsi Ilocos Sur sebenarnya bisa dijangkau
dengan pesawat dari Ninoy Aquino International Airport. Bagi yang memilih jalur
darat, beberapa layanan bus eksekutif bisa menjadi pilihan. Modalnya cuma satu,
siap bosan delapan sampai sepuluh jam di dalam bus.
“Kamu
terlihat masih muda, cantik lagi, berapa usiamu?” tanya perempuan di sebelahku,
membuatku mengalihkan pandangan dari deretan rumah di luar jendela. Senyumku
melengkung mendengar tanyanya, sambil buru-buru merapikan kerah hoodie dan sikap duduk, halah!
Setelah
kusebutkan usiaku, ia berkomentar lagi, “Masih muda, sudah menikah? Punya
boyfriend?” Lengkap amat, Mbak, nanyanya,
gumamku dalam hati.
“Belum,
kamu?” jawabku pendek.
“Sudah
punya boyfriend, tapi masih belum siap untuk menikah. Di Hong Kong, beberapa
teman saya biasa punya dua pacar, satu di sana, satu di negara asalnya. Saya
tidak mau, repot. Saya masih ingin bekerja untuk Mama. Oh ya, agamamu apa?
Muslim? Saya pernah bekerja di Saudi, majikan saya bilang saya muslim karena
saya pernah ucap syahadat yang mereka ajarkan, padahal kan saya cuma belajar
mengucapkan saja,” ujarnya sambil tertawa lebar, mengibaskan rambut panjangnya
yang sempat menyapu tepian wajahku.
“Kamu
sendiri merasa agamamu apa?” tanyaku sekilas, sambil mulai mencopot sneaker dan duduk bersila di kursi.
Dasar, wong jowo, rek!
“Katholik
Roma, sama seperti kebanyakan Filipino. Mungkin tidak terlalu taat, tapi saya
yakin Tuhan selalu ada di sekitar saya. Oh ya, banyak teman Indonesia saya
makan pork, padahal mereka muslim, mengapa begitu?” tanyanya lagi. Topik berat,
nih. Kelak, aku baru tau kalau Filipina ternyata negara dengan pemeluk Katholik
Roma terbesar di Asia, nomor tiga di dunia. Nuansa itu sangat terasa dengan
katedral-katedral tua yang bertebaran di negara ini.
“Itu
pilihan mereka. Bagi saya, meyakini Tuhan itu yang utama. Tuhan sebagai pusat
dari keberadaan semesta. Keyakinan yang membuat saya menjalani nilai-nilai
Tuhan yang ada dalam agama yang saya pilih, Islam. Pengetahuan dan keyakinan membuat
kita tahu mau berbuat apa, bukan?” ucapku.
“Iya,
bagi saya juga agama itu harus diyakini sendiri dulu, bukan ikut-ikutan. Saya
pernah berdoa di katedral tua di kota saya, rasanya seperti malaikat ada di
sekeliling saya. Sejak itu saya selalu meyakini Tuhan saya. Besok saya akan
berdoa lagi di katedral di Vigan,” ucapnya sambil tersenyum.
Entah
mengapa, setiap kali traveling sendiri, aku sering bertemu momen semacam ini.
Momen bertukar obrolan dengan orang asing yang dengan santainya bercerita
tentang hidup mereka kepadaku. Tak jarang tentang rahasia kecil mereka.
Menarik. Kadang, perbincangan tentang Tuhan menjadi lebih apa adanya jika
dilakukan dengan orang asing yang kita temui di tengah jalan, jauh dari rumah. Seperti
kata pepatah Arab, cahaya hanya jatuh menimpa orang asing.
Malam
yang masih berteman hujan membuat hening tercipta di dalam bus. Suasana yang
tepat untuk mulai bersedekap dan memejamkan mata. Letih setelah seharian
berkeliaran di kawasan kota tua Manila mulai memberati pelupuk mata.
Beban
yang sedikit berat di bahu kiriku membuatku terbangun dan menoleh ke kiri. Rupanya
ia pun terlelap, dengan kepala tersandar di bahuku. Kubiarkan saja ia
menitipkan poros lelapnya di bahuku, hitung-hitung barter dengan beberapa butir
cokelat yang tadi rakus kulahap.
Bus
tiba-tiba berhenti di depan jajaran warung, membuat perempuan di sampingku ikut
menghentikan tidurnya.
“Ayo,
turun, makan malam,” ajaknya kepadaku.
Setelah
memakai lagi sneaker-ku dan membawa
semua barang berharga dalam tas kecil yang meliliti pinggang, aku bergegas
menyusulnya turun. Comfort room alias
toilet menjadi tujuan pertamaku. Kurang tahu, mengapa toilet disebut CR di
sini. Membuatku penasaran, toilet punya berapa banyak julukan di seluruh dunia.
Apa
yang bisa kumakan di sini? Tempat pemberhentian bus ini bukan semacam rumah
makan, lebih tepatnya kumpulan beberapa penjual makanan cepat saji, seperti mi
instan, sosis goreng, roti, dan jajanan khas Filipina lain. Penjual mi instan
menjadi satu-satunya pilihan buatku.
Ke
mana ia? Ekor mataku mulai mencari-cari teman dudukku. Lambaian tangannya dari
depan penjual jajanan membuatku menghampirinya dengan cup mi instan panas di
tangan.
“Ah,
iya, kamu memang cuma bisa makan mi instan di sini,” komentarnya melihat menu
makan malamku. “Saya sudah lama kangen makan balut, tapi kamu tidak bisa makan,” ujarnya sambil memperlihatkan
sebutir telur rebus di tangannya.
Rupanya
ini balut yang tersohor itu. Semacam
telur bebek rebus dengan embrio yang masih ada di dalamnya. Embrio yang sudah
dibuahi tersebut berusia 17 hari, dengan bentuk bebek kecil yang mulai mewujud.
Bagiku, ini semacam makanan yang layak masuk daftar The Most Horrible Food in The World. Trust me. Beberapa penumpang
bus tampak menikmati berbutir-butir balut
saus pedas dengan nikmatnya. Perempuan itu tampak malu-malu meneguk balut-nya. Aku? Pura-pura sibuk mengaduk
kuah mi instan, agar bayangan tentang embrio bebek segera lenyap. Manusia,
selalu tak puas dengan makanan yang “standar”.
“Tunggu,
ya, saya mau tambah satu lagi,” ucapnya tersipu. Mungkin rautnya mirip
sepertiku ketika sibuk dengan kepiting saus telur asin super lezat di RM. Ujung
Pandang, Gandaria. Antusiasme terhadap makanan itu berkah Tuhan, agar setiap
suapnya selalu terasa lezat.
Perut
yang kenyang membuat semua penumpang memilih untuk memejamkan mata. Senada
dengan suasana temaram jalanan di luar jendela yang hanya diterangi lampu jalan
yang redup. Masih beberapa jam lagi untuk finish.
Waktu
setempat menunjuk pukul 02.30 pagi buta ketika bus mulai memasuki depo Partas
cabang Vigan. Astaga, pagi amat! Ini, sih, terlalu cepat. Kupikir baru akan
sampai pukul 06.00 sehingga aku tidak persiapan untuk booking hotel.
“Bagaimana
kalau kamu menginap saja di hotel saya? Kalau masih ada kamar kosong, tak apa
kalau kamu mau pesan sendiri, kalau tidak ada kamu tidur di kamar saya saja,”
usul suara di sampingku, seolah tahu kegusaranku. Mau berkeliaran di jalanan
sepagi ini juga ngeri.
“Tak
apa? Hotelmu di mana?” tanyaku menyambar usulannya.
“Dekat
dengan hotel, tadi saya sudah tanya ke kondektur. Katanya tinggal jalan kaki
saja.”
“Hmm,
bolehlah.”
Kesepakatan
kami menandai berhentinya bus di dalam depo. Membuat kami semua serentak
membereskan barang masing-masing. Alamak, kupikir cuma tiga tas besar yang
menjadi barang bawaannya. Tidak tahunya… masih ada satu koper lagi di dalam
bagasi.
Ia
tampak repot ingin membawa sendiri semuanya. Perempuan macam apa aku kalau
tidak membantunya. Langsung saja kuambil dua tas tenteng plus satu kantong
plastik yang beratnya masyaallah
sekali. Apa sih isinya?
“Maaf,
ya, jadi merepotkan. Itu hotel saya yang ada lampu hijau di atasnya,” ucapnya
buru-buru sambil menunjuk ke arah hotel Green City yang kutaksir berjalan
sekitar 200 meter dari depo bus. Jarak yang terasa panjang dengan gembolan kami
berdua.
“Berat,
ya? Isinya oleh-oleh buat saudara di sini, hehe.”
“Ah,
enggak, kok, biasa saja,” jawabku sok superwoman. Padahal… Apa jadinya dia
kalau sendirian menggeret semua barang ini? Takdir butiran cokelat rupanya
membawa kami kepada simbiosis semacam ini. Meskipun berpeluh pada pagi buta, rasanya
menyenangkan.
Green
City Hotel untungnya masih memiliki satu kamar kosong standar untukku. Tidak
enak juga kalau harus menumpang, meskipun aku sudah berencana menawarinya sharing cost. Lumayan juga kalau bisa
menyimpan ranselku di hotel sementara jalan-jalan sekitar kota nanti.
Setelah
membantunya menaikkan barang-barang sampai ke lantai empat (dan, yeah, tak ada
lift di hotel ini, sodara!), kami pun saling mengucapkan terima kasih dan
berpamitan. Kami tak sempat bertukar nama, hanya bertukar isi kepala dan
huluran tangan. Dan, itu lebih berbekas di dalam dada.
Membuka
mata di tempat asing itu seperti tertidur dengan halaman buku terbuka di pangkuan,
dan ketika terbangun kita sudah ada di dalam cerita buku itu. Kata orang,
berkeliling Vigan cukup dua jam saja karena yang ada melulu bangunan tua.
Bagiku, justru itu hal mengasyikkan yang membuatku betah mengitarinya
berjam-jam. Dulunya, Vigan terpisah dari daratan utama Pulau Luzon oleh Mestizo
River yang mengelilingi. Pendangkalan sungai membuat Vigan akhirnya menyatu
dengan daratan utama.
Ketika
berbelok menyusuri A. Reyes Street, aku seperti masuk ke serial telenovela
Little Missy yang dulu sering ditonton bundaku. Jalanan batu dari abad ke-16;
bangunan tua bergaya Eropa berpadu oriental yang berubah menjadi toko
oleh-oleh, restoran, atau kafe; beberapa calesa
(semacam delman yang ditarik kuda, peninggalan era Spanyol) pengangkut turis
yang berseliweran di sekitarku. Cuma tinggal gadis-gadis bergaun panjang dan
berpayung renda saja yang kurang.
Istilah
hari Minggu adalah hari ibadah tampak terasa di kota ini. Paling tidak jika
dilihat dari keramaian di katedral St. Paul yang ada di ujung Burgos Street. Benar
kata orang, jangan datang ke Vigan dengan ekspektasi hura-hura ala Manila. Suara
kidung dalam bahasa latin menjadi latar suara kota sejak pagi tadi. Kidung yang
indah di telinga, meski aku tak tahu apa artinya. Apa-apa tentang Tuhan memang
ada kalanya terdengar asing, tetapi getarannya merembes sampai ke hati.
Deretan
kedai yang dipadati pembeli di Plaza Burgos menarikku ikut mendekat. Ah,
rupanya mereka sedang menyantap empanada, semacam pastel isi daging dan
sayuran. Minggu sore selepas misa, masyarakat setempat biasa duduk-duduk makan
empanada di sekitar sini. Untung saja aku bisa memesan empanada isi sayuran
saja.
Obrolan
dalam bahasa Tagalog meramai di sekitar tempatku duduk, dengan sepiring
empanada di hadapan. Keluarga lengkap dengan ayah, ibu, dan anak-anak remajanya
di depanku. Anak muda dengan gerombolan temannya di sebelah kananku. Seorang
gadis dengan teman perempuannya di sisi kiriku. Berada di tengah orang asing
terkadang membuat rasa terasingkan perlahan sirna, berganti dengan hal-hal yang
selama ini luput disadari. Kebiasaan, rutinitas, dan orang-orang familier di
sekitar, tak jarang membuat cahaya dari kedalaman hati meredup. Rutinitas
membuat kita merasa aman, kekal. Padahal kita belum lagi selesai bertumbuh.
Alunan
kidung misa sore masih terdengar syahdu, meskipun matahari senja sudah mulai
turun. Di antara kerumunan orang asing, membuatku mencari sosok yang tidak
pernah asing. Tuhan. Kidung itu terasa mengetuk-ngetuk pintu hati, mengajak
langkahku untuk mendekat ke sumbernya. Aku tahu itu bukan rumah ibadahku,
tetapi bagiku Tuhan terlalu agung untuk hanya diberi satu rumah. Lewat pintu
sampingnya, aku menyusup masuk ke dalam katedral tua. beberapa jamaat masih memenuhi
bangku-bangku kayu bagian depan.
Aku
duduk di dekat pintu. Merasakan kedamaian yang teralun dari kidung yang masih
dilantunkan orang-orang di sekitar altar. Mungkin ini yang dirasakan teman
perjalananku itu, ketika bercerita tentang apa yang dirasanya di sini bertahun
lampau. Tak ada jemaat yang melirikku curiga, semua sibuk dengan diamnya masing-masing.
Aku
ingin berdoa. Dorongan itu terasa membuncah. Tiba-tiba saja aku sudah berlutut.
Merapal doa sore, berterima kasih kepada Ilahi Rabbi atas semua berkat
dan terang jiwa. Melantunkan doa bagi tiga orang sahabatku. Doa yang pada kemudian
hari menjadi pengikat yang aneh di antara kami. Membuat kami saling terkoneksi
dan menjalani takdir relasi yang tak terduga.
Senyum
terbit di wajahku yang separuh disinari lampu jalanan yang mulai menyala. Sama
terangnya dengan pelita yang baru saja dinyalakan di hatiku. Ini seperti akhir
sesi traveling yang tak bisa dikonversi ke dalam peso atau rupiah. Senja
berganti gelap ketika kakiku menyusuri jalanan batu tua menuju depo Partas
untuk kembali ke Manila. Dengan saku celana penuh cerita dan hati yang
menghangat.
-esfand
Enak tenan iso jalan-jalan...
BalasHapusaku kapaaan iso koyo mlaku2 kowe Mut...