Pages

Labels

Selasa, 21 Januari 2014

Vigan City dan Magi Katedral Tua




Konon, hikmah adalah harta karun milik manusia yang menyerpih di sepanjang jalan. Tergantung manusianya, mau berjalan dan memungutinya atau melewatkannya begitu saja.

Hujan sore di penghujung Mei 2013 membuatku menaikkan tudung hoodie ungu rapat-rapat, kemudian segera menyandang Deuter pinjaman warna biru dan bergabung bersama antrean penumpang bus Partas rute Manila-Vigan di depo Partas daerah Cubao. Koper-koper besar dan bungkusan lainnya ikut berjajar di dekat bagasi, menunggu giliran untuk tergeletak hangat di samping mesin. Sepertinya banyak yang berniat pulang kampung, atau mungkin sekadar berlibur akhir pekan. Udara yang dingin bersenyawa dengan aroma hujan yang terasa kurang familier di hidung. Setiap kota punya aroma hujannya masing-masing.

Semua kursi hampir terisi penuh rupanya, sekilas kulirik potongan tiket di tangan, memastikan nomor kursi yang kubeli. Seorang laki-laki berseragam Partas menghampiriku dengan berondongan kalimat Tagalog. Tak terlihat asingkah wajah Jawaku? Tanpa tahu harus menjawab apa, kuacungkan tiket seharga 600-an peso dengan kerlingan ala kadarnya dan melangkah ke bagian dalam bus.

Sepertinya teman seperjalananku sudah lebih dahulu duduk. Perempuan Filipina yang kutaksir berusia lima tahun di atasku. Astaga, bawaannya sebanyak itu? Lantas, di mana aku bisa duduk? Tampaknya ia tahu bahwa aku adalah pemilik kursi di sampingnya, ia segera saja berdiri dan menyapaku dalam bahasa Tagalog.

“Sorry, I can’t speak Tagalog,” jawabku buru-buru, sebelum ia menghabiskan satu halaman pertanyaan.
“Oh, oke, kamu duduk di sini? Sebentar, biar saya bereskan dulu barang-barang saya,” ujarnya dalam bahasa Inggris sambil mulai sibuk merapikan barang. Sebagian dipaksanya ikut berjejalan dengan barang lain miliknya di bagasi atas tempat duduk. Mirip pemudik lebaran.

Kursi di samping jendela akhirnya berhasil kududuki. Spot favorit untuk menikmati perjalanan darat ke bagian utara Pulau Luzon, salah satu pulau besar di Filipina tempat ibu kota negara berada. Bulir-bulir hujan mulai menghiasi jendela kaca, memaksa siapa saja untuk sesaat terdiam dan mengenang. Hujan mungkin hadiah Tuhan bagi manusia yang butuh momen untuk menikmati kedamaian.

“Saya kira kamu orang Mindanao, ternyata bukan Filipino?” perempuan di samping saya tiba-tiba berkomentar.
“Ah, bukan, saya dari Indonesia, Jakarta,” jawab saya dengan senyuman. Sejak hari pertama mendarat di Manila, entah sudah berapa orang yang mengira saya orang setempat.
“Oh, Indonesia? Saya punya banyak teman dari Indonesia. Saya kerja di Hong Kong, asisten rumah tangga….” Dan mulailah ia bercerita tentang pekerjaannya dan teman-teman Indonesianya yang sulit berbahasa Inggris. Ceritanya mengalir seperti air bah, seperti keran yang lama tidak dibuka. Rupanya ia bagian dari ratusan ribu pekerja Filipina yang ada di Hong Kong, sedang cuti kerja dan baru mendarat beberapa jam lalu. Sambil bercerita, ia mengeluarkan beberapa kotak cokelat dari tas tenteng di dekat kakinya.

“Cokelat? Tanyanya sambil menyodorkan sekotak ke arahku. “Halal, no pork,” tambahnya lagi sambil tertawa. Kucomot beberapa denga sigap. Lumayanlah, pengganjal perut yang sejak pagi baru diisi fish burger McD.

Tak hanya aku yang ditawari ternyata, dengan meriahnya ia menawari penumpang lain di dekatnya, lalu memanggil kondektur bus dan menyodorkan beberapa kotak kepadanya. Membuatku berprasangka, jangan-jangan semua tas yang dibawanya ini berisi cokelat. Slurp.

Tampaknya bus mulai melaju ke luar kota. Hujan turun dengan rata. Semoga cuaca Vigan esok hari cerah ceria. Aku tak punya tujuan utama di Filipina selain datang ke Ciudad Fernandina de Vigan, 408 km dari Manila. Kota tua bergaya hispanik peninggalan Spanyol dari tahun 1572 yang menjadi bagian dari world heritage site UNESCO.

Vigan City yang menjadi bagian dari Provinsi Ilocos Sur sebenarnya bisa dijangkau dengan pesawat dari Ninoy Aquino International Airport. Bagi yang memilih jalur darat, beberapa layanan bus eksekutif bisa menjadi pilihan. Modalnya cuma satu, siap bosan delapan sampai sepuluh jam di dalam bus.

“Kamu terlihat masih muda, cantik lagi, berapa usiamu?” tanya perempuan di sebelahku, membuatku mengalihkan pandangan dari deretan rumah di luar jendela. Senyumku melengkung mendengar tanyanya, sambil buru-buru merapikan kerah hoodie dan sikap duduk, halah!

Setelah kusebutkan usiaku, ia berkomentar lagi, “Masih muda, sudah menikah? Punya boyfriend?” Lengkap amat, Mbak, nanyanya, gumamku dalam hati.

“Belum, kamu?” jawabku pendek.
“Sudah punya boyfriend, tapi masih belum siap untuk menikah. Di Hong Kong, beberapa teman saya biasa punya dua pacar, satu di sana, satu di negara asalnya. Saya tidak mau, repot. Saya masih ingin bekerja untuk Mama. Oh ya, agamamu apa? Muslim? Saya pernah bekerja di Saudi, majikan saya bilang saya muslim karena saya pernah ucap syahadat yang mereka ajarkan, padahal kan saya cuma belajar mengucapkan saja,” ujarnya sambil tertawa lebar, mengibaskan rambut panjangnya yang sempat menyapu tepian wajahku.

“Kamu sendiri merasa agamamu apa?” tanyaku sekilas, sambil mulai mencopot sneaker dan duduk bersila di kursi. Dasar, wong jowo, rek!

“Katholik Roma, sama seperti kebanyakan Filipino. Mungkin tidak terlalu taat, tapi saya yakin Tuhan selalu ada di sekitar saya. Oh ya, banyak teman Indonesia saya makan pork, padahal mereka muslim, mengapa begitu?” tanyanya lagi. Topik berat, nih. Kelak, aku baru tau kalau Filipina ternyata negara dengan pemeluk Katholik Roma terbesar di Asia, nomor tiga di dunia. Nuansa itu sangat terasa dengan katedral-katedral tua yang bertebaran di negara ini.

“Itu pilihan mereka. Bagi saya, meyakini Tuhan itu yang utama. Tuhan sebagai pusat dari keberadaan semesta. Keyakinan yang membuat saya menjalani nilai-nilai Tuhan yang ada dalam agama yang saya pilih, Islam. Pengetahuan dan keyakinan membuat kita tahu mau berbuat apa, bukan?” ucapku.

“Iya, bagi saya juga agama itu harus diyakini sendiri dulu, bukan ikut-ikutan. Saya pernah berdoa di katedral tua di kota saya, rasanya seperti malaikat ada di sekeliling saya. Sejak itu saya selalu meyakini Tuhan saya. Besok saya akan berdoa lagi di katedral di Vigan,” ucapnya sambil tersenyum.

Entah mengapa, setiap kali traveling sendiri, aku sering bertemu momen semacam ini. Momen bertukar obrolan dengan orang asing yang dengan santainya bercerita tentang hidup mereka kepadaku. Tak jarang tentang rahasia kecil mereka. Menarik. Kadang, perbincangan tentang Tuhan menjadi lebih apa adanya jika dilakukan dengan orang asing yang kita temui di tengah jalan, jauh dari rumah. Seperti kata pepatah Arab, cahaya hanya jatuh menimpa orang asing.

Malam yang masih berteman hujan membuat hening tercipta di dalam bus. Suasana yang tepat untuk mulai bersedekap dan memejamkan mata. Letih setelah seharian berkeliaran di kawasan kota tua Manila mulai memberati pelupuk mata.

Beban yang sedikit berat di bahu kiriku membuatku terbangun dan menoleh ke kiri. Rupanya ia pun terlelap, dengan kepala tersandar di bahuku. Kubiarkan saja ia menitipkan poros lelapnya di bahuku, hitung-hitung barter dengan beberapa butir cokelat yang tadi rakus kulahap.

Bus tiba-tiba berhenti di depan jajaran warung, membuat perempuan di sampingku ikut menghentikan tidurnya.

“Ayo, turun, makan malam,” ajaknya kepadaku.

Setelah memakai lagi sneaker-ku dan membawa semua barang berharga dalam tas kecil yang meliliti pinggang, aku bergegas menyusulnya turun. Comfort room alias toilet menjadi tujuan pertamaku. Kurang tahu, mengapa toilet disebut CR di sini. Membuatku penasaran, toilet punya berapa banyak julukan di seluruh dunia.

Apa yang bisa kumakan di sini? Tempat pemberhentian bus ini bukan semacam rumah makan, lebih tepatnya kumpulan beberapa penjual makanan cepat saji, seperti mi instan, sosis goreng, roti, dan jajanan khas Filipina lain. Penjual mi instan menjadi satu-satunya pilihan buatku.

Ke mana ia? Ekor mataku mulai mencari-cari teman dudukku. Lambaian tangannya dari depan penjual jajanan membuatku menghampirinya dengan cup mi instan panas di tangan.

“Ah, iya, kamu memang cuma bisa makan mi instan di sini,” komentarnya melihat menu makan malamku. “Saya sudah lama kangen makan balut, tapi kamu tidak bisa makan,” ujarnya sambil memperlihatkan sebutir telur rebus di tangannya.

Rupanya ini balut yang tersohor itu. Semacam telur bebek rebus dengan embrio yang masih ada di dalamnya. Embrio yang sudah dibuahi tersebut berusia 17 hari, dengan bentuk bebek kecil yang mulai mewujud. Bagiku, ini semacam makanan yang layak masuk daftar The Most Horrible Food in The World. Trust me. Beberapa penumpang bus tampak menikmati berbutir-butir balut saus pedas dengan nikmatnya. Perempuan itu tampak malu-malu meneguk balut-nya. Aku? Pura-pura sibuk mengaduk kuah mi instan, agar bayangan tentang embrio bebek segera lenyap. Manusia, selalu tak puas dengan makanan yang “standar”.

“Tunggu, ya, saya mau tambah satu lagi,” ucapnya tersipu. Mungkin rautnya mirip sepertiku ketika sibuk dengan kepiting saus telur asin super lezat di RM. Ujung Pandang, Gandaria. Antusiasme terhadap makanan itu berkah Tuhan, agar setiap suapnya selalu terasa lezat.

Perut yang kenyang membuat semua penumpang memilih untuk memejamkan mata. Senada dengan suasana temaram jalanan di luar jendela yang hanya diterangi lampu jalan yang redup. Masih beberapa jam lagi untuk finish.

Waktu setempat menunjuk pukul 02.30 pagi buta ketika bus mulai memasuki depo Partas cabang Vigan. Astaga, pagi amat! Ini, sih, terlalu cepat. Kupikir baru akan sampai pukul 06.00 sehingga aku tidak persiapan untuk booking hotel.

“Bagaimana kalau kamu menginap saja di hotel saya? Kalau masih ada kamar kosong, tak apa kalau kamu mau pesan sendiri, kalau tidak ada kamu tidur di kamar saya saja,” usul suara di sampingku, seolah tahu kegusaranku. Mau berkeliaran di jalanan sepagi ini juga ngeri.
“Tak apa? Hotelmu di mana?” tanyaku menyambar usulannya.
“Dekat dengan hotel, tadi saya sudah tanya ke kondektur. Katanya tinggal jalan kaki saja.”
“Hmm, bolehlah.”

Kesepakatan kami menandai berhentinya bus di dalam depo. Membuat kami semua serentak membereskan barang masing-masing. Alamak, kupikir cuma tiga tas besar yang menjadi barang bawaannya. Tidak tahunya… masih ada satu koper lagi di dalam bagasi.

Ia tampak repot ingin membawa sendiri semuanya. Perempuan macam apa aku kalau tidak membantunya. Langsung saja kuambil dua tas tenteng plus satu kantong plastik yang beratnya masyaallah sekali. Apa sih isinya?

“Maaf, ya, jadi merepotkan. Itu hotel saya yang ada lampu hijau di atasnya,” ucapnya buru-buru sambil menunjuk ke arah hotel Green City yang kutaksir berjalan sekitar 200 meter dari depo bus. Jarak yang terasa panjang dengan gembolan kami berdua.
“Berat, ya? Isinya oleh-oleh buat saudara di sini, hehe.”
“Ah, enggak, kok, biasa saja,” jawabku sok superwoman. Padahal… Apa jadinya dia kalau sendirian menggeret semua barang ini? Takdir butiran cokelat rupanya membawa kami kepada simbiosis semacam ini. Meskipun berpeluh pada pagi buta, rasanya menyenangkan.

Green City Hotel untungnya masih memiliki satu kamar kosong standar untukku. Tidak enak juga kalau harus menumpang, meskipun aku sudah berencana menawarinya sharing cost. Lumayan juga kalau bisa menyimpan ranselku di hotel sementara jalan-jalan sekitar kota nanti.

Setelah membantunya menaikkan barang-barang sampai ke lantai empat (dan, yeah, tak ada lift di hotel ini, sodara!), kami pun saling mengucapkan terima kasih dan berpamitan. Kami tak sempat bertukar nama, hanya bertukar isi kepala dan huluran tangan. Dan, itu lebih berbekas di dalam dada.

Membuka mata di tempat asing itu seperti tertidur dengan halaman buku terbuka di pangkuan, dan ketika terbangun kita sudah ada di dalam cerita buku itu. Kata orang, berkeliling Vigan cukup dua jam saja karena yang ada melulu bangunan tua. Bagiku, justru itu hal mengasyikkan yang membuatku betah mengitarinya berjam-jam. Dulunya, Vigan terpisah dari daratan utama Pulau Luzon oleh Mestizo River yang mengelilingi. Pendangkalan sungai membuat Vigan akhirnya menyatu dengan daratan utama.

Ketika berbelok menyusuri A. Reyes Street, aku seperti masuk ke serial telenovela Little Missy yang dulu sering ditonton bundaku. Jalanan batu dari abad ke-16; bangunan tua bergaya Eropa berpadu oriental yang berubah menjadi toko oleh-oleh, restoran, atau kafe; beberapa calesa (semacam delman yang ditarik kuda, peninggalan era Spanyol) pengangkut turis yang berseliweran di sekitarku. Cuma tinggal gadis-gadis bergaun panjang dan berpayung renda saja yang kurang.

Istilah hari Minggu adalah hari ibadah tampak terasa di kota ini. Paling tidak jika dilihat dari keramaian di katedral St. Paul yang ada di ujung Burgos Street. Benar kata orang, jangan datang ke Vigan dengan ekspektasi hura-hura ala Manila. Suara kidung dalam bahasa latin menjadi latar suara kota sejak pagi tadi. Kidung yang indah di telinga, meski aku tak tahu apa artinya. Apa-apa tentang Tuhan memang ada kalanya terdengar asing, tetapi getarannya merembes sampai ke hati.

Deretan kedai yang dipadati pembeli di Plaza Burgos menarikku ikut mendekat. Ah, rupanya mereka sedang menyantap empanada, semacam pastel isi daging dan sayuran. Minggu sore selepas misa, masyarakat setempat biasa duduk-duduk makan empanada di sekitar sini. Untung saja aku bisa memesan empanada isi sayuran saja.

Obrolan dalam bahasa Tagalog meramai di sekitar tempatku duduk, dengan sepiring empanada di hadapan. Keluarga lengkap dengan ayah, ibu, dan anak-anak remajanya di depanku. Anak muda dengan gerombolan temannya di sebelah kananku. Seorang gadis dengan teman perempuannya di sisi kiriku. Berada di tengah orang asing terkadang membuat rasa terasingkan perlahan sirna, berganti dengan hal-hal yang selama ini luput disadari. Kebiasaan, rutinitas, dan orang-orang familier di sekitar, tak jarang membuat cahaya dari kedalaman hati meredup. Rutinitas membuat kita merasa aman, kekal. Padahal kita belum lagi selesai bertumbuh.

Alunan kidung misa sore masih terdengar syahdu, meskipun matahari senja sudah mulai turun. Di antara kerumunan orang asing, membuatku mencari sosok yang tidak pernah asing. Tuhan. Kidung itu terasa mengetuk-ngetuk pintu hati, mengajak langkahku untuk mendekat ke sumbernya. Aku tahu itu bukan rumah ibadahku, tetapi bagiku Tuhan terlalu agung untuk hanya diberi satu rumah. Lewat pintu sampingnya, aku menyusup masuk ke dalam katedral tua. beberapa jamaat masih memenuhi bangku-bangku kayu bagian depan.

Aku duduk di dekat pintu. Merasakan kedamaian yang teralun dari kidung yang masih dilantunkan orang-orang di sekitar altar. Mungkin ini yang dirasakan teman perjalananku itu, ketika bercerita tentang apa yang dirasanya di sini bertahun lampau. Tak ada jemaat yang melirikku curiga, semua sibuk dengan diamnya masing-masing.

Aku ingin berdoa. Dorongan itu terasa membuncah. Tiba-tiba saja aku sudah berlutut. Merapal doa sore, berterima kasih kepada Ilahi Rabbi atas semua berkat dan terang jiwa. Melantunkan doa bagi tiga orang sahabatku. Doa yang pada kemudian hari menjadi pengikat yang aneh di antara kami. Membuat kami saling terkoneksi dan menjalani takdir relasi yang tak terduga.

Senyum terbit di wajahku yang separuh disinari lampu jalanan yang mulai menyala. Sama terangnya dengan pelita yang baru saja dinyalakan di hatiku. Ini seperti akhir sesi traveling yang tak bisa dikonversi ke dalam peso atau rupiah. Senja berganti gelap ketika kakiku menyusuri jalanan batu tua menuju depo Partas untuk kembali ke Manila. Dengan saku celana penuh cerita dan hati yang menghangat.

-esfand





1 komentar:

  1. Enak tenan iso jalan-jalan...
    aku kapaaan iso koyo mlaku2 kowe Mut...

    BalasHapus