Pages

Labels

Minggu, 31 Agustus 2014

Semuanya Tentang Menambah Mata




:Muthia Esfand

Apa yang ada dalam benak setiap pejalan sebelum ransel dan kopernya benar-benar siap digembok rapi? Tentang bla bla hikmah yang ingin ia kantungi? Kurasa tidak. Tentang makanan enak apa yang akan ia cicipi nanti dan kapan sebaiknya ia belanja oleh-oleh. Benar, kan? 

Semua orang begitu. Tapi, tunggu sampai ia mendapatkan bintang jatuh bernama pengalaman-sekali-seumur-hidup yang kuyakin tidak royal diberikan Tuhan kepada semua pejalan.

Tentu, aku juga bagian dari entah berapa peleton pejalan yang memulai “karier” dunia pelancongan karena godaan bernama AA. Inisial sebuah maskapai penerbangan bujet yang sejak kemunculan pertamanya sudah membuat banyak orang takluk kepada rayuan utamanya: tiket murah. Kau mungkin tak akan menemui binar mata secemerlang seorang traveler yang kegirangan dapat kursi gratis atau “sekadar” tiket PP murah menuju destinasi impiannya.

Hanya, aku bukan bagian dari kaum mata cemerlang itu. Well, meski saat pertama kali berkenalan dengan Air Asia aku langsung dapat hal yang diidam-idamkan para pemburu BIG SALE: free seat. Ketika itu, bukan main senangnya. Rasanya tak sabar menanti perjalanan ke beberapa negara dengan kursi gratis. Kepala sudah penuh bayangan rute, itinerary, hunting free map di airport, atau ransel ukuran berapa liter yang akan dibawa. Meskipun perjalanan itu masih setahun kemudian jadwalnya.

Perjalanan demi perjalanan menggunakan AA kulalui. Kebanyakan bersama seorang sahabat berinisial TDS. Kami berdua seperti sepasang pemburu tiket murah yang sering ketiban hoki. Membuat pemburu lainnya berdecak kagum bahkan men-sigh iri. Beri kami waktu satu jam saja di depan layar, satu demi satu kode booking bertarif minimum pun mengantre masuk email kami.

Kami menjelajah Phuket saat hujan deras sudah seminggu tak berhenti di sana. Kami memborong teh dan kopi di sebuah kios di Ben Than Market, Ho Chi Minh, hanya karena aroma wangi kopi yang baru digiling menyerbu hidung kami ketika melewatinya. Kami rela bangun pagi buta demi berdiri menghadap Angkor Wat dan menyaksikan matahari terbit di atasnya.

Ketika itu, tujuan perburuan tiket murah AA bagi kami hanya satu: melihat ada apa sebenarnya di negeri-negeri lain di luar sana. Kawan-kawan sesama pejalan memandang kami sebagai pasangan travelmate yang serasi. Tugasku adalah mencari tahu sejarah negeri yang akan kami tuju, lengkap dengan kondisi sosialnya, serta siap cas cis cus dengan bahasa Inggris untuk sekadar bertanya jalan. Tugas TDS adalah menyiapkan peta, mengatur bujet, dan booking penginapan. Kami bisa saling melengkapi.



Tak pernah bertikai? Jangan ditanya. Mana ada dua orang atau lebih traveler yang jalan bersama tanpa “sedikit” ketidaksepakatan”. Hal biasalah itu. tapi, tetap saja, ketika AA melempar lagi program tiket murahnya, kami kembali antusias merancang perjalanan selanjutnya.
Hidup terkadang memang benar-benar tak bisa ditebak. Kau tak bisa selamanya yakin setiap perjalanan yang kau rencanakan akan terlaksana dengan lancar dari A sampai Z. Kau tak bisa selamanya yakin, jika tiket murah yang kau dapat tahun ini, benar-benar akan kau gunakan tahun depan.

Entah setelah perjalanan yang keberapa puluh. Kami berdua mulai bersilang jalan. Bukan tentang perbedaan destinasi atau tanggal yang diinginkan untuk sesi perjalanan selanjutnya. Bukan. Kami bersilang jalan dalam kehidupan nyata kami. Kehidupan yang ternyata bukan melulu dari satu alat transportasi ke alat transportasi selanjutnya. Kehidupan yang bukan melulu tentang pilihan apakah magnit kulkas atau gantungan kunci yang akan dibeli untuk oleh-oleh.

Kami pun memutuskan untuk mengambil pilihan jalan kami masing-masing. Padahal, beberapa tiket AA dalam email kami menunggu waktu keberangkatan. Satu destinasi terdekat ketika itu adalah rute Jakarta-Makassar saat AA baru saja membuka rute penerbangan ke kota tempat para petualang kuno berasal.

Terus terang, aku butuh rehat dari pekerjaan kantor, dan rasanya malas untuk membuka laptop mencari-cari tiket lagi. Ingatan langsung tertuju kepada tiket Jakarta-Makassar itu. Sanggupkah aku pergi? Padahal bisa saja TDS juga punya niat yang sama. Sejak menangggalkan label “travelmate” kami memang sangat jarang bertukar sapa apalagi rencana. Bayangan tentang menyusuri deretan kars di kawasan Ramang-Ramang, Maros, mengisi kepalaku penuh-penuh. Akhirnya, kuniatkan hati mengepak ransel, mengeluarkan lagi sepasang sandal gunung warna pink-ungu, dan buru-buru web chek in sehari sebelum keberangkatan.

Kau pernah merasakan duduk sendiri menunggu keberangkatan di bandara, padahal di seberang bangku panjangmu duduk seseorang yang pernah berkali-kali menemani momen menunggumu? Dan yang kalian berdua lakukan diam pura-pura tak acuh? Kau pernah merasakan duduk bersisian di atas pesawat Air Asia yang bernuansa merah cerah,  dengan seseorang yang pernah menemanimu berlari kencang sepanjang bandara demi pesawat yang sudah mulai boarding, tetapi yang kalian lakukan hanyalah duduk tegak dengan muka lurus ke depan, sambil berusaha kerasa agar tidak saling bersenggolan?

Dan, pernahkah kau merasakan dua momen semacam itu, DUA KALI? Pergi-pulang? Berdoalah semoga tidak akan pernah. Jika tidak berusaha “jaim” di depan pramugari-paramugara AA yang berseliweran siap membantu di atas pesawat, aku mungkin sudah meminta setumpuk tisu kepada mereka untuk menumpahkan air mata yang tertahan sepanjang penerbangan. Kalau aku nekat meminjam bahu salah satu di antara mereka, aku yakin juga pasti boleh.

Itu rute terakhir kami. Setelah itu tak pernah sekali pun kami berada dalam satu pesawat yang sama. Sengaja atau tidak. Ia makin pesat dengan usaha travelingnya, aku makin sibuk dengan naskah-naskah fantasi di atas meja. Bertahun kemudian, saat kami masing-masing punya travelmate baru, aku masih berusaha mencerna tentang apa itu semua sebenarnya. Tentang apa sebenarnya semua perjalanan yang terlalui itu.

Pada akhirnya aku tahu, semua itu tentang kesempatan. Kesempatan yang datang dengan perantara maskapai merah ini. Kesempatan untuk tidak sekadar hidup dengan satu “mata”, tapi lebih dari satu. Punya mata yang berlebih, membuat kita bisa melihat orang lain dan sekitar kita dengan berbagai sudut pandang. Membuat kita tak gagap menyikapi perbedaan. Membuat kita sadar, ini dunia yang harus kita bagi bersama.

Jika aku tak pernah mengalami hebohnya berburu tiket AA bersama TDS, apakah aku akan merasakan tertawa lepas saat disiram seember air oleh penduduk setempat ketika berjalan-jalan pada hari Songkran? Jika aku tak pernah antusias mengikuti info promo di sosial media AA, apakah aku akan merasakan rasa bersyukur punya negara yang dilimpahi pemandangan memukau setelah kembali dari negeri yang tak punya pantai berpasir terigu putih? Jika aku tak tergoda AA sedari awal, apakah aku akan tahu makna sebuah persahabatan?

Travelmate berganti, euforia melancong mulai mendewasa. Satu yang tak berubah, maskapai merah favorit.




Rabu, 22 Januari 2014

Yang Hijau dan Asri "Slovenia"


Ljubljana
 
Bingung saat pertama kali aku harus menyebutkan nama kota ini, menyebutkan dengan lafal Indonesia ataupun Inggris kedengaranannya janggal, “liub’liana” begitu cara menyebutkannya.
Slovenia adalah negara kecil di Eropa tengah yang berbatasan dengan Itali di bagian barat, Kroasia di bagian selatan dan timur, Hungaria di bagian timur laut, dan Austria di bagian utara. Ibukota dan kota terbesar di Slovenia adalah Ljubljana.

Aku meyusuri kota tua Ljubljana membentang di antara Kastil Ljubljana dan dan sungai  Ljubljanica, dengan beberapa gedung tua dari abad pertengahan yang sekarang menjadi toko-toko, café dan restoran. Kemudian lanjut melewati Town Hall ke Cathedral of Saint Nicholas dan pasar tradisional. Setelahnya aku melewati jembatan naga, Zmajski Most, yang di kedua ujung jembatan dipasang 4 patung naga di bagian atasnya. Aku menyeberangi jembatan naga dan jalan kembali ke arah kota tua, lalu berhenti di Preseren Square tempat Franciscan Church of the Annunciation berada. Preseren square yang populer sebagai tempat meeting point cukup ramai saat itu karena cuaca bagus dan hangat sehingga banyak penduduk lokal dan turis jalan-jalan ataupun duduk di café-café atau bangku yang ada disekitar. Dekat Preseren Square berdiri Triple Bridge Tromostovje, 3 jembatan yang berdekatan sama lain yang ramai dilalui orang. Aku kembali ke kota tua untuk makan siang yang aku beli dari restoran take away dan duduk di pinggir sungai Ljubljanica menikmati makan siangku di bawah pohon yang teduh.

Setelah makan siang aku lanjut jalan ke Ljubljana Kastil yang berada di atas bukit untuk melihat pemandangan kota sampai Kamnik Alps. Aku juga melewati beberapa bangunan seperti Gereja Saint James, National Library, Summer Theatre, dan beberapa museum di sekitar pusat kota. Dilanjutkan ke Roman Wall, jalur pendek di sebelah barat pusat kota yang merupakan peninggalan dari tembok kota Romawi jaman dahulu.  

 
Maribor

Maribor adalah kota kedua terbesar di Slovenia setelah Ljubljana. Mengelilingi pusat kota Maribor cukup dengan jalan kaki karena kotanya yang relatif kecil. Bus juga ada untuk ke tempat wisata di luar kota seperti Pegunungan Pohorje. Sore harinya jalan-jalan lewat taman Mestni yang sangat besar untuk ukuran kota Maribor yang relatif kecil. Lanjut naik ke Bukit Piramida yang dipenuhi kebun anggur dan sampai di puncak bukit dimana dulu berdiri Kastil Maribor. Sungguh menyenangkan menikmati pemandangan ke kota Maribor dan sungai Drava.

Setelahnya kembali ke alun-alun kota, Glavni Trg, tempat Mestna hisa Rotovz (Town Hall), Kuzno Znamenje (Plague Column), dan Alojzijeva Cerkev (Aloysius Church), dan beberapa bangunan bersejarah lain berada. Tempat itu juga dipenuhi toko, café, dan restoran. Jalan kaki di lanjutkan ke Lent, bagian kota tua di sepanjang sungai Drava dengan Hisa Stare Trte (Old Vine House) yang memiliki anggur tertua di dunia, menara pertahanan Vodni Stolp (Water Tower), Sodni Stolp (Judgement Tower), dan Jewish part dengan Sinagoga (Maribor Synagogue) yang merupakan Synagogue tertua kedua di Eropa, Zidovski Trg (Jewish Square) dan Zidovski Stolp (Jewish Tower). Sempat juga melihat Stara Trta, pohon anggur yang berumur sekitar 450 tahun dan masuk ke Guinness Book Record sebagai pohon anggur tertua di dunia. Pohon anggur ini tumbuh di depan Old Vine House di Lent. 


 
 -arunia

Resep Slovenian Sup "Goveja Juha"



Home made sup Goveja Juha (di baca: goveya yuha) yang artinya sup daging ini aku rasakan pertama kali di Maribor Slovenia. Hostku Zala membuatkan sup sederhana yang bening ini khusus untukku dan menurutku sup bening sederhana yang paling enak yang pernah aku makan sampai saat ini. Sup ini sangat gampang dibuatnya dan cocok dimakan waktu udara dingin.

Bahan-bahan:

500 gram daging sapi dengan tulang (bisa ditambahkan tulang sapi untuk kaldu jika ada)
1,5 liter air
2 wortel, potong sesuai selera
2 tangkai seledri, potong kecil
1 bawang bombai, cincang
3 siung bawang putih, cincang
2 daun bay (bisa dibeli di supermarket)
garam secukupnya 
merica hitam secukupnya

Cara membuat:
- Tuang sedikit minyak ke dalam panci.
- Setelah minyak panas tumis bawang putih sebentar kemudian tambahkan bawang bombai dan     tumis  semuanya hingga layu.
- Masukkan daging yang telah dipotong potong hingga lunak.  
- Masukkan wortel dan aduk sesekali.
- Tambahkan air hingga mendidih.
- Setelah daging matang, kecilkan api dan tambahkan garam, merica, daun bay dan seledri.
- Aduk sesekali dan angkat.

-arunia

Selasa, 21 Januari 2014

Vigan City dan Magi Katedral Tua




Konon, hikmah adalah harta karun milik manusia yang menyerpih di sepanjang jalan. Tergantung manusianya, mau berjalan dan memungutinya atau melewatkannya begitu saja.

Hujan sore di penghujung Mei 2013 membuatku menaikkan tudung hoodie ungu rapat-rapat, kemudian segera menyandang Deuter pinjaman warna biru dan bergabung bersama antrean penumpang bus Partas rute Manila-Vigan di depo Partas daerah Cubao. Koper-koper besar dan bungkusan lainnya ikut berjajar di dekat bagasi, menunggu giliran untuk tergeletak hangat di samping mesin. Sepertinya banyak yang berniat pulang kampung, atau mungkin sekadar berlibur akhir pekan. Udara yang dingin bersenyawa dengan aroma hujan yang terasa kurang familier di hidung. Setiap kota punya aroma hujannya masing-masing.

Semua kursi hampir terisi penuh rupanya, sekilas kulirik potongan tiket di tangan, memastikan nomor kursi yang kubeli. Seorang laki-laki berseragam Partas menghampiriku dengan berondongan kalimat Tagalog. Tak terlihat asingkah wajah Jawaku? Tanpa tahu harus menjawab apa, kuacungkan tiket seharga 600-an peso dengan kerlingan ala kadarnya dan melangkah ke bagian dalam bus.

Sepertinya teman seperjalananku sudah lebih dahulu duduk. Perempuan Filipina yang kutaksir berusia lima tahun di atasku. Astaga, bawaannya sebanyak itu? Lantas, di mana aku bisa duduk? Tampaknya ia tahu bahwa aku adalah pemilik kursi di sampingnya, ia segera saja berdiri dan menyapaku dalam bahasa Tagalog.

“Sorry, I can’t speak Tagalog,” jawabku buru-buru, sebelum ia menghabiskan satu halaman pertanyaan.
“Oh, oke, kamu duduk di sini? Sebentar, biar saya bereskan dulu barang-barang saya,” ujarnya dalam bahasa Inggris sambil mulai sibuk merapikan barang. Sebagian dipaksanya ikut berjejalan dengan barang lain miliknya di bagasi atas tempat duduk. Mirip pemudik lebaran.

Kursi di samping jendela akhirnya berhasil kududuki. Spot favorit untuk menikmati perjalanan darat ke bagian utara Pulau Luzon, salah satu pulau besar di Filipina tempat ibu kota negara berada. Bulir-bulir hujan mulai menghiasi jendela kaca, memaksa siapa saja untuk sesaat terdiam dan mengenang. Hujan mungkin hadiah Tuhan bagi manusia yang butuh momen untuk menikmati kedamaian.

“Saya kira kamu orang Mindanao, ternyata bukan Filipino?” perempuan di samping saya tiba-tiba berkomentar.
“Ah, bukan, saya dari Indonesia, Jakarta,” jawab saya dengan senyuman. Sejak hari pertama mendarat di Manila, entah sudah berapa orang yang mengira saya orang setempat.
“Oh, Indonesia? Saya punya banyak teman dari Indonesia. Saya kerja di Hong Kong, asisten rumah tangga….” Dan mulailah ia bercerita tentang pekerjaannya dan teman-teman Indonesianya yang sulit berbahasa Inggris. Ceritanya mengalir seperti air bah, seperti keran yang lama tidak dibuka. Rupanya ia bagian dari ratusan ribu pekerja Filipina yang ada di Hong Kong, sedang cuti kerja dan baru mendarat beberapa jam lalu. Sambil bercerita, ia mengeluarkan beberapa kotak cokelat dari tas tenteng di dekat kakinya.

“Cokelat? Tanyanya sambil menyodorkan sekotak ke arahku. “Halal, no pork,” tambahnya lagi sambil tertawa. Kucomot beberapa denga sigap. Lumayanlah, pengganjal perut yang sejak pagi baru diisi fish burger McD.

Tak hanya aku yang ditawari ternyata, dengan meriahnya ia menawari penumpang lain di dekatnya, lalu memanggil kondektur bus dan menyodorkan beberapa kotak kepadanya. Membuatku berprasangka, jangan-jangan semua tas yang dibawanya ini berisi cokelat. Slurp.

Tampaknya bus mulai melaju ke luar kota. Hujan turun dengan rata. Semoga cuaca Vigan esok hari cerah ceria. Aku tak punya tujuan utama di Filipina selain datang ke Ciudad Fernandina de Vigan, 408 km dari Manila. Kota tua bergaya hispanik peninggalan Spanyol dari tahun 1572 yang menjadi bagian dari world heritage site UNESCO.

Vigan City yang menjadi bagian dari Provinsi Ilocos Sur sebenarnya bisa dijangkau dengan pesawat dari Ninoy Aquino International Airport. Bagi yang memilih jalur darat, beberapa layanan bus eksekutif bisa menjadi pilihan. Modalnya cuma satu, siap bosan delapan sampai sepuluh jam di dalam bus.

“Kamu terlihat masih muda, cantik lagi, berapa usiamu?” tanya perempuan di sebelahku, membuatku mengalihkan pandangan dari deretan rumah di luar jendela. Senyumku melengkung mendengar tanyanya, sambil buru-buru merapikan kerah hoodie dan sikap duduk, halah!

Setelah kusebutkan usiaku, ia berkomentar lagi, “Masih muda, sudah menikah? Punya boyfriend?” Lengkap amat, Mbak, nanyanya, gumamku dalam hati.

“Belum, kamu?” jawabku pendek.
“Sudah punya boyfriend, tapi masih belum siap untuk menikah. Di Hong Kong, beberapa teman saya biasa punya dua pacar, satu di sana, satu di negara asalnya. Saya tidak mau, repot. Saya masih ingin bekerja untuk Mama. Oh ya, agamamu apa? Muslim? Saya pernah bekerja di Saudi, majikan saya bilang saya muslim karena saya pernah ucap syahadat yang mereka ajarkan, padahal kan saya cuma belajar mengucapkan saja,” ujarnya sambil tertawa lebar, mengibaskan rambut panjangnya yang sempat menyapu tepian wajahku.

“Kamu sendiri merasa agamamu apa?” tanyaku sekilas, sambil mulai mencopot sneaker dan duduk bersila di kursi. Dasar, wong jowo, rek!

“Katholik Roma, sama seperti kebanyakan Filipino. Mungkin tidak terlalu taat, tapi saya yakin Tuhan selalu ada di sekitar saya. Oh ya, banyak teman Indonesia saya makan pork, padahal mereka muslim, mengapa begitu?” tanyanya lagi. Topik berat, nih. Kelak, aku baru tau kalau Filipina ternyata negara dengan pemeluk Katholik Roma terbesar di Asia, nomor tiga di dunia. Nuansa itu sangat terasa dengan katedral-katedral tua yang bertebaran di negara ini.

“Itu pilihan mereka. Bagi saya, meyakini Tuhan itu yang utama. Tuhan sebagai pusat dari keberadaan semesta. Keyakinan yang membuat saya menjalani nilai-nilai Tuhan yang ada dalam agama yang saya pilih, Islam. Pengetahuan dan keyakinan membuat kita tahu mau berbuat apa, bukan?” ucapku.

“Iya, bagi saya juga agama itu harus diyakini sendiri dulu, bukan ikut-ikutan. Saya pernah berdoa di katedral tua di kota saya, rasanya seperti malaikat ada di sekeliling saya. Sejak itu saya selalu meyakini Tuhan saya. Besok saya akan berdoa lagi di katedral di Vigan,” ucapnya sambil tersenyum.

Entah mengapa, setiap kali traveling sendiri, aku sering bertemu momen semacam ini. Momen bertukar obrolan dengan orang asing yang dengan santainya bercerita tentang hidup mereka kepadaku. Tak jarang tentang rahasia kecil mereka. Menarik. Kadang, perbincangan tentang Tuhan menjadi lebih apa adanya jika dilakukan dengan orang asing yang kita temui di tengah jalan, jauh dari rumah. Seperti kata pepatah Arab, cahaya hanya jatuh menimpa orang asing.

Malam yang masih berteman hujan membuat hening tercipta di dalam bus. Suasana yang tepat untuk mulai bersedekap dan memejamkan mata. Letih setelah seharian berkeliaran di kawasan kota tua Manila mulai memberati pelupuk mata.

Beban yang sedikit berat di bahu kiriku membuatku terbangun dan menoleh ke kiri. Rupanya ia pun terlelap, dengan kepala tersandar di bahuku. Kubiarkan saja ia menitipkan poros lelapnya di bahuku, hitung-hitung barter dengan beberapa butir cokelat yang tadi rakus kulahap.

Bus tiba-tiba berhenti di depan jajaran warung, membuat perempuan di sampingku ikut menghentikan tidurnya.

“Ayo, turun, makan malam,” ajaknya kepadaku.

Setelah memakai lagi sneaker-ku dan membawa semua barang berharga dalam tas kecil yang meliliti pinggang, aku bergegas menyusulnya turun. Comfort room alias toilet menjadi tujuan pertamaku. Kurang tahu, mengapa toilet disebut CR di sini. Membuatku penasaran, toilet punya berapa banyak julukan di seluruh dunia.

Apa yang bisa kumakan di sini? Tempat pemberhentian bus ini bukan semacam rumah makan, lebih tepatnya kumpulan beberapa penjual makanan cepat saji, seperti mi instan, sosis goreng, roti, dan jajanan khas Filipina lain. Penjual mi instan menjadi satu-satunya pilihan buatku.

Ke mana ia? Ekor mataku mulai mencari-cari teman dudukku. Lambaian tangannya dari depan penjual jajanan membuatku menghampirinya dengan cup mi instan panas di tangan.

“Ah, iya, kamu memang cuma bisa makan mi instan di sini,” komentarnya melihat menu makan malamku. “Saya sudah lama kangen makan balut, tapi kamu tidak bisa makan,” ujarnya sambil memperlihatkan sebutir telur rebus di tangannya.

Rupanya ini balut yang tersohor itu. Semacam telur bebek rebus dengan embrio yang masih ada di dalamnya. Embrio yang sudah dibuahi tersebut berusia 17 hari, dengan bentuk bebek kecil yang mulai mewujud. Bagiku, ini semacam makanan yang layak masuk daftar The Most Horrible Food in The World. Trust me. Beberapa penumpang bus tampak menikmati berbutir-butir balut saus pedas dengan nikmatnya. Perempuan itu tampak malu-malu meneguk balut-nya. Aku? Pura-pura sibuk mengaduk kuah mi instan, agar bayangan tentang embrio bebek segera lenyap. Manusia, selalu tak puas dengan makanan yang “standar”.

“Tunggu, ya, saya mau tambah satu lagi,” ucapnya tersipu. Mungkin rautnya mirip sepertiku ketika sibuk dengan kepiting saus telur asin super lezat di RM. Ujung Pandang, Gandaria. Antusiasme terhadap makanan itu berkah Tuhan, agar setiap suapnya selalu terasa lezat.

Perut yang kenyang membuat semua penumpang memilih untuk memejamkan mata. Senada dengan suasana temaram jalanan di luar jendela yang hanya diterangi lampu jalan yang redup. Masih beberapa jam lagi untuk finish.

Waktu setempat menunjuk pukul 02.30 pagi buta ketika bus mulai memasuki depo Partas cabang Vigan. Astaga, pagi amat! Ini, sih, terlalu cepat. Kupikir baru akan sampai pukul 06.00 sehingga aku tidak persiapan untuk booking hotel.

“Bagaimana kalau kamu menginap saja di hotel saya? Kalau masih ada kamar kosong, tak apa kalau kamu mau pesan sendiri, kalau tidak ada kamu tidur di kamar saya saja,” usul suara di sampingku, seolah tahu kegusaranku. Mau berkeliaran di jalanan sepagi ini juga ngeri.
“Tak apa? Hotelmu di mana?” tanyaku menyambar usulannya.
“Dekat dengan hotel, tadi saya sudah tanya ke kondektur. Katanya tinggal jalan kaki saja.”
“Hmm, bolehlah.”

Kesepakatan kami menandai berhentinya bus di dalam depo. Membuat kami semua serentak membereskan barang masing-masing. Alamak, kupikir cuma tiga tas besar yang menjadi barang bawaannya. Tidak tahunya… masih ada satu koper lagi di dalam bagasi.

Ia tampak repot ingin membawa sendiri semuanya. Perempuan macam apa aku kalau tidak membantunya. Langsung saja kuambil dua tas tenteng plus satu kantong plastik yang beratnya masyaallah sekali. Apa sih isinya?

“Maaf, ya, jadi merepotkan. Itu hotel saya yang ada lampu hijau di atasnya,” ucapnya buru-buru sambil menunjuk ke arah hotel Green City yang kutaksir berjalan sekitar 200 meter dari depo bus. Jarak yang terasa panjang dengan gembolan kami berdua.
“Berat, ya? Isinya oleh-oleh buat saudara di sini, hehe.”
“Ah, enggak, kok, biasa saja,” jawabku sok superwoman. Padahal… Apa jadinya dia kalau sendirian menggeret semua barang ini? Takdir butiran cokelat rupanya membawa kami kepada simbiosis semacam ini. Meskipun berpeluh pada pagi buta, rasanya menyenangkan.

Green City Hotel untungnya masih memiliki satu kamar kosong standar untukku. Tidak enak juga kalau harus menumpang, meskipun aku sudah berencana menawarinya sharing cost. Lumayan juga kalau bisa menyimpan ranselku di hotel sementara jalan-jalan sekitar kota nanti.

Setelah membantunya menaikkan barang-barang sampai ke lantai empat (dan, yeah, tak ada lift di hotel ini, sodara!), kami pun saling mengucapkan terima kasih dan berpamitan. Kami tak sempat bertukar nama, hanya bertukar isi kepala dan huluran tangan. Dan, itu lebih berbekas di dalam dada.

Membuka mata di tempat asing itu seperti tertidur dengan halaman buku terbuka di pangkuan, dan ketika terbangun kita sudah ada di dalam cerita buku itu. Kata orang, berkeliling Vigan cukup dua jam saja karena yang ada melulu bangunan tua. Bagiku, justru itu hal mengasyikkan yang membuatku betah mengitarinya berjam-jam. Dulunya, Vigan terpisah dari daratan utama Pulau Luzon oleh Mestizo River yang mengelilingi. Pendangkalan sungai membuat Vigan akhirnya menyatu dengan daratan utama.

Ketika berbelok menyusuri A. Reyes Street, aku seperti masuk ke serial telenovela Little Missy yang dulu sering ditonton bundaku. Jalanan batu dari abad ke-16; bangunan tua bergaya Eropa berpadu oriental yang berubah menjadi toko oleh-oleh, restoran, atau kafe; beberapa calesa (semacam delman yang ditarik kuda, peninggalan era Spanyol) pengangkut turis yang berseliweran di sekitarku. Cuma tinggal gadis-gadis bergaun panjang dan berpayung renda saja yang kurang.

Istilah hari Minggu adalah hari ibadah tampak terasa di kota ini. Paling tidak jika dilihat dari keramaian di katedral St. Paul yang ada di ujung Burgos Street. Benar kata orang, jangan datang ke Vigan dengan ekspektasi hura-hura ala Manila. Suara kidung dalam bahasa latin menjadi latar suara kota sejak pagi tadi. Kidung yang indah di telinga, meski aku tak tahu apa artinya. Apa-apa tentang Tuhan memang ada kalanya terdengar asing, tetapi getarannya merembes sampai ke hati.

Deretan kedai yang dipadati pembeli di Plaza Burgos menarikku ikut mendekat. Ah, rupanya mereka sedang menyantap empanada, semacam pastel isi daging dan sayuran. Minggu sore selepas misa, masyarakat setempat biasa duduk-duduk makan empanada di sekitar sini. Untung saja aku bisa memesan empanada isi sayuran saja.

Obrolan dalam bahasa Tagalog meramai di sekitar tempatku duduk, dengan sepiring empanada di hadapan. Keluarga lengkap dengan ayah, ibu, dan anak-anak remajanya di depanku. Anak muda dengan gerombolan temannya di sebelah kananku. Seorang gadis dengan teman perempuannya di sisi kiriku. Berada di tengah orang asing terkadang membuat rasa terasingkan perlahan sirna, berganti dengan hal-hal yang selama ini luput disadari. Kebiasaan, rutinitas, dan orang-orang familier di sekitar, tak jarang membuat cahaya dari kedalaman hati meredup. Rutinitas membuat kita merasa aman, kekal. Padahal kita belum lagi selesai bertumbuh.

Alunan kidung misa sore masih terdengar syahdu, meskipun matahari senja sudah mulai turun. Di antara kerumunan orang asing, membuatku mencari sosok yang tidak pernah asing. Tuhan. Kidung itu terasa mengetuk-ngetuk pintu hati, mengajak langkahku untuk mendekat ke sumbernya. Aku tahu itu bukan rumah ibadahku, tetapi bagiku Tuhan terlalu agung untuk hanya diberi satu rumah. Lewat pintu sampingnya, aku menyusup masuk ke dalam katedral tua. beberapa jamaat masih memenuhi bangku-bangku kayu bagian depan.

Aku duduk di dekat pintu. Merasakan kedamaian yang teralun dari kidung yang masih dilantunkan orang-orang di sekitar altar. Mungkin ini yang dirasakan teman perjalananku itu, ketika bercerita tentang apa yang dirasanya di sini bertahun lampau. Tak ada jemaat yang melirikku curiga, semua sibuk dengan diamnya masing-masing.

Aku ingin berdoa. Dorongan itu terasa membuncah. Tiba-tiba saja aku sudah berlutut. Merapal doa sore, berterima kasih kepada Ilahi Rabbi atas semua berkat dan terang jiwa. Melantunkan doa bagi tiga orang sahabatku. Doa yang pada kemudian hari menjadi pengikat yang aneh di antara kami. Membuat kami saling terkoneksi dan menjalani takdir relasi yang tak terduga.

Senyum terbit di wajahku yang separuh disinari lampu jalanan yang mulai menyala. Sama terangnya dengan pelita yang baru saja dinyalakan di hatiku. Ini seperti akhir sesi traveling yang tak bisa dikonversi ke dalam peso atau rupiah. Senja berganti gelap ketika kakiku menyusuri jalanan batu tua menuju depo Partas untuk kembali ke Manila. Dengan saku celana penuh cerita dan hati yang menghangat.

-esfand