“Traveling – it leaves you speechless, then turns you into a
storyteller.” – Ibn Battuta
Ada, perempuan-perempuan yang
rela menyeberangi samudra demi merantaukan nasibnya. Tak sekadar agar punya
rumah tembok dan televisi layar datar di kampungnya, atau agar anak
kesayangannya punya sepatu bersol kelap-kelip, tapi juga demi harapan agar
jarak mampu mengobati luka-luka di hatinya. Perih akibat dikhianati, putus asa
karena dianggap makhluk kelas dua tak berguna, malu dengan kodisii ekonomi
keluarga. Saya berjumpa dengan salah satunya. Di pusat Senado Square, Macau.
Lebih tepatnya, ia yang menemukan saya.
Kurang ajar, memang, baru
beberapa bulan jadi copy editor baru
sebuah penerbitan, saya sudah maju ke meja Pak Redpel dengan wajah sememelas
mungkin. Berniat berutang cuti. Saya yang karyawan baru ini belum punya jatah
cuti, kalaupun boleh harus dengan kondisi khusus dan itu pun memotong cuti yang
kelak akan saya dapatkan. Terima kasih kepada Air Asia yang menghadiahi saya
“kondisi khusus” ini setelah kompetisi menulis yang diadakannya. Hadiahnya
sederhana saja: boleh pilih destinasi mana pun di Asia yang diterbangi Air Asia
dan mereka yang akan menanggungnya. Salah saya kalau saya dengan senang hati
menerima? Sambil memilin kumis, Pak Mul menjawab, “Yowes, jangan lupa
oleh-oleh.” Saya selalu mendoakan bos-bos yang murah memberi cuti kepada
stafnya agar selalu sejahtera!
Naluri manusia, dikasih satu
pilihan bingung, dikasih banyak pilihan lebih bingung lagi! Brian, seorang
teman asal Hong Kong, tiba-tiba saja riuh mengompori, “Just choose my homeland,
I know you’ll love it! Come to see tiny island where I born.” Brian seorang
perantau yang menyesap cangkir nafkahnya dari tambang-tambang mineral di
Indonesia. Kegemarannya di Jakarta adalah naik taksi ke mana saja, bahkan
sekadar keluar makan siang dari ujung ke ujung Sudirman. Tarif taksi di Jakarta
yang “murah” dibandingkan Hong Kong membutnya tak mau repot-repot meminta
fasilitas mobil dari perusahaan tempatnya bekerja. Kami berkenalan lewat
komunitas Couchsurfing, dan sejak itu sering bertukar referensi destinasi.
Setelah menimbang apakah
Srilangka ataukah Hong Kong-Macau, saya akhirnya memilih yang terakhir.
Terkadang saya tak habis pikir, bagaimana Semesta bisa memilihkan arah mana
dalam kompas hidup saya yang sebaiknya saya pilih. Meyakininya kadang kala tak
terlalu susah, pilihan mana yang paling membuat senyummu lebar ketika terlintas
dalam benakmu.
Jika waktu memberimu kesempatan
untuk berjalan solo, ambil tanpa pikir panjang. Rasanya seperti ujian semester,
untuk mencari tahu seberapa banyak hidup mengajarimu cara menjadi manusia. Ketika
berjalan sendirian di tengah kerumunan orang asing, di negeri asing, dengan
bahasa yang antah berantah di telinga, kau akan tahu cara untuk menyayangi
dirimu sendiri.
Udara dingin November mengembusi
kedua pipi saat keluar dari mansion tempat saya menumpang rebah semalam.
Semalam, saya turun dari bus A21 rute bandara-Tsim Sha Tsui dan menemukan diri
saya berdiri di ruas jalan yang semakin sibuk di jam pulang kantor. Billboard
raksasa tampir mencolok terang di mana-mana, tak ada yang boleh terselubung
gelap. Gerimis membuat saya buru-buru mengeluarkan payung lipat yang sengaja
saya selipkan di samping tas, yang berakhir patah gagangnya entah bagaimana. Artinya
saya harus rela dibaptis hujan Hong Kong penyambut selamat datang. Saya
mendongakkan kepala ke langit, menjemput tetes hujan pertama saya di negeri
ini, di tengah lalu lalang pekerja kantoran yang berjaan cepat sembari
merapatkan jaket, diburu lapar didera lelah ingin segera menghela napas
panjang.
Pagi ini, rasanya saya memilih
elevator yang sekaligus portal waktu. Lampu-lampu papan reklame beragam ukuran
sudah lenyap, sisa-sisa hujan memenuhi udara pagi yang lembap, dengan aroma samar
jejak pesta jalanan malam sebelumnya. Semua terlihat lengang kelabu dari ujung
ke ujung. Sambil menyusupkan kedua tangan di dalam kantong jaket, saya menjadi
pelancong pertama yang menyapa jalanan Tsim Sha Tsui menuju dermaga
penyeberangan ke Macau. Mengendap-endap di teras kota saat para pemiliknya
masih pulas memimpikan negeri ini merdeka seutuhnya dari penguasa daratan.
Kapal feri penghubung Hong Kong
dan Macau merapat menjelang siang dihantar ombak. Saya sepertinya salah waktu,
Macau sedang jadi tuan rumah Grand Prix Formula 3 Kau akan tahu betapa dalam sebuah
negeri dicengkeram peradaban suatu bangsa dari sisa-sisa peninggalannya.
Ketika tak cukup tahu ke sudut
kota mana sebenarnya saya ingin pergi, indra kaki saya mengambil inisiatif dan
mengarahkan tujuan ke titik paling standar di kota apa pun: alun-alun. Saya
berterima kasih kepada siapa pun yang merealisasikan ide bahwa naluri berkerumun
manusia harus difasilitasi dalam ruang terbuka massal semacam ini.
Saya sebenarnya ada janji temu
dengan dua orang teman asal Jakarta yang kebetulan sedang melancong ke Macau
juga. Sembari menunggu SMS kabar dari mereka, saya memilih duduk di bangku
beton di tengah Senado Square, nama resmi yang tercantum dalam peta. Nama yang
ternyata asing di lafal lidah penghuni asli kota ini. Saya baru tahu belakangan
bahwa mereka biasa menyebut alun-alun kota mereka ini dengan nama Sarmalo
Square. Ini hal yang biasa terjadi di Macau. Nama-nama papan jalan yang
tertulis dalam Bahasa Portugis sekadar jadi pajangan saja bagi penduduk sekitar
yang lebih paham aksara Tiongkok.
Momen paling mewah ketika memilih
berjalan solo adalah ketika kau bisa terpekur bengong dengan syahdu di mana
suka. Bangunan-bangunan tua peninggalan Portugis mengepung di segala penjuru
kota. Jika semua orang sepakat berkostum ala abad ke-16 saat itu juga, tidak
akan ada yang tahu zaman sebenarnya sudah berganti. Negeri ini memang belum
lama berganti “juragan”. Kalau kau merasa Indonesia sudah sangat payah didera
okupasi Belanda berabad-abad, kasihanilah Macau yang dari tahun 1557 sampai
1999 berada dalam pelukan erat Portugal. Ada satu perpustakaan lama yang sedang
saya cari-cari lokasinya dalam peta wisata yang saya ambil di pelabuhan feri
tadi.
“Sendirian?”
Saya pikir saya sedang mengarang
dialog dalam kepala. Saya abai saja dan membiarkan ujung telunjuk sibuk
menelusuri peta.
“Sedang menunggu teman?”
Astaga, benar-benar ada yang
menyapa! Saat mendongak, di depan saya berdiri perempuan berambut panjang
pirang dengan rok jeans selutut dan topi bowler
merah di kepala. Wajahnya sangat Nusantara, saya tak perlu berpikir ulang dia
warga negara mana.
“Oh, lagi nyari rute ke
perpustakaan nih, Mbak,” jawab saya dengan senyum lebar. Disapa dengan bahasa
ibumu selalu terasa menyenangkan, bukan?
“Sendirian? Kerja di sini?”
berondongnya lagi, menghenyakkan diri duduk di samping saya. Aroma manis
parfumnya kontras dengan udara kota tua di tengah terik siang.
“Lagi liburan saja, iya sendiri.
Kerja di sini, Mbak…? jawab saya menggantung.
“Sekar, iya aku kerja di sini.
Mbak siapa?” balasnya sembari menghulurkan salam.
“Aku Muthia Esfand. Sedang off, Mbak?” tanyaku memperpanjang
obrolan. Jika tak sedang libur rasanya tak mungkin jam segini ia bisa bebas
berkeliaran.
“Biasanya memang masuk sore,
menjelang majikanku pulang. Biasalah, masak, bersihin rumah, sama ngurusin
ibunya majikan yang sudah tua,” jelasnya, melepas topi merahnya untuk
kipas-kipas. “Kok berani jalan-jalan sendiri?”
“Sudah biasa, Mbak, kadang asyik
saja sih jalan sendiri, kenalan lagi sama diri sendiri,” jawab saya, sedikit
beralih fokus ke sekelompok biarawati yang lewat bergerombol di depan kami.
Hendak mengunjungi reruntuhan St. Paul mungkin.
“Eh, main ke rumah, yuk, daripada
di sini sendiri, nanti aku temani jalan sebentar, sambil ke rumah majikan.
Istirahat dulu aja yuk,” ajaknya sambil bergegas bangkit.
Tawarannya menarik juga, toh tak
ada salahnya juga. Hitung-hitung dapat teman baru sambil ngaso istirahat dan
shalat.
“Wah, boleh juga, Mbak,” sambut
saya dengan senyum penuh.
Kami berdua berjalan bersebelahan
menyusuri paving blok Senador Square ke arah jantung kota tua. Di setiap
langkah yang jatuh menapak lantai batu, yang terbayang malah pertanyaan tentang
siapa saja yang dahulu pernah menapaki jalanan ini. Sepasang kekasih?
Sekumpulan anak sekolah? Para opsir berlogat Inggris Raya? Atau seperti saya,
musafir solo yang merelakan kenyamanan rumah sekadar demi mereguk pengetahuan
dan pengalaman baru. Pusat kota tua Macau ini sepertinya tak pernah mati
disambangi pelancong. Papan petunjuk jalan dalam dua bahasa: Portugis-Inggris
menjadi pemandu jalan para pendatang.
“Muthia asli mana? Kalau aku dari
Malang,” cakap Mbak Sekar sambil membetulkan letak topinya.
“Sama, Mbak, aku dari Jawa Timur
juga,” sahutku.
“Mampir sebentar, nggak apa-apa?
Mau ke warung,” tanya Mbak Sekar.
“Santai, Mbak, mampir aja.”
Ia berbelok masuk ke lorong kecil
di antara dua toko oleh-oleh. Apa yang ada di ujung lorong sepertinya menjadi
tujuan utamanya. Warung? Saya pikir maksudnya supermarket atau semacam
restoran, ternyata benar-benar “warung” seperti yang bisa saya jumpai di
sekitar rumah saya di Depok.
Warungnya kecil saja, sekitar
empat kali empat meter. Beberapa gadis perantauan memilih-milih sayuran dan
buah yag ditata di bagian depan. Obrolannya dalam bahasa yang familier di
telinga saya. Kardus-kardus Indomie bertumpuk di sudut, kopi instan sasetan
berjuntaian.
“Eh, Sekar, ke mana saja nggak
pernah keliatan?” tanya seorang ibu yang duduk di balik kasir, sang pemilik
warung tampaknya. Ia bertanya dalam bahasa khas Jawa Timur. “Sekar, siapa namamu
dulu itu? Sekarang jadi ayu tenan,
lho,” ucapnya lagi sambil tertawa kecil. Komentarnya sedikit membuat alis kiri
saya naik, rasa penasaran yang saya telan diam-diam.
Sekar menanggapi dengan senyum,
menyodorkan beberapa barang yang dicarinya untuk dibayar. Semua pembeli
sepertinya saling kenal. Macau memang kecil saja, tempat semacam ini pastilah
akan jadi favorit para perantau. Obat rindu citarasa kampung halaman. Selesai
dengan belanjaannya, ia memberi saya kode untuk mengikutinya keluar. Ada calon
yang pertanyaan yang cepat-cepat ingin dihindarinya, mungkin.
Kami kembali menyusuri jalanan
utama, melewat toko-toko jajanan yang berebut menyerbu para pejalan dengan aroma
kue baru matang dari oven. Di depan setiap toko kue selalu ada pegawai toko
dengan senampan makanan tester. Lapar, tinggal comot, begitu terus bolak-balik
pasti kenyang. Lumayan, hemat uang saku. Di jalanan yang menyempit dijejali
pelancong, saya mengekor di belakang Mbak Sekar. Sesekali menengok ke arah kios
Portugese Egg Tart, resep asli dari masa pendudukan. Kalau tak ingat harus
bersopan-sopan dengan Mbak Sekar, saya sudah kabur melahap satu dus kue itu.
Jajanan paling enak seantero Macau. Membayangkan tekstur lembutnya menyapa
lidah saya, mentega dan telur berpadu manis, menggoyahkan iman saya. Murahan
sekali!
Saya sebenarnya bertanya-tanya,
di bagian mana kota tua ini Mbak Sekar tinggal. Pertanyaan yang terjawab ketika
ia berbelok masuk lagi ke jalanan yang lebih kecil dan berhenti tepat di depan
deretan rumah dua lantai, lebih mirip deretan ruko.
“Aku tinggal ramai-ramai sama
yang lain. Sebentar, ya, lupa tadi enggak bawa kunci,” ucapnya terkekeh kecil.
“Rin, rin, bukakne pintune!” serunya
dalam bahasa Jawa, ke arah jendela di lantai dua. Ada kepala berekor kuda yang
menyembul dari balik tirai jendela lantai dua, menggelengkan kepala tanda
permakluman lalu lenyap lagi. Pintu dua lapis pun terbuka,
sosok seusia Mbak Sekar menyambut dengan senyuman saat melihat ada saya yang
mengekor di belakang temannya.
“Ini Muthia, tadi ketemu di Sarmalo,”
ucap Mbak Sekar memperkenalkan. Saya mengangguk dan mengikuti mereka menuju
tangga ke lantai atas.
Sepertinya ini semacam rumah sewa
yang dibagi-bagi menjadi beberapa bagian. Di ujung tangga, ada tiga pintu yang
terlihat, mereka berdua memilih pintu yang paling tengah.
“Yuk, masuk, maaf ya kalau
seadanya, namanya juga perantauan.”
Beberapa perempuan sedang asyik
dengan aktivitasnya masing-masing di dalam kamar. Bagian tengah tampaknya ruang
bersama, dengan tambahan ranjang tingkat di sudutnya. Seorang perempuan
berambut cepak sedang menyelonjor malas.
“Sekar, bawa titipanku… eh, ada
tamu tho…” Sebuah kepala melongok dari balik pintu kamar satu-satunya di
ruangan itu.
“Hai, Mbak,” sapa saya canggung.
“Di sini kami tinggal
ramai-ramai, Muthia, itu Rini, kerjanya di kasino, yang lagi tiduran itu Dian,
kerja di restoran tapi lagi shif malam. Yang tadi bukain pintu Ratna. Satu lagi
sedang pulang kampung,” jelas Mbak Sekar memperkenalkan teman serumahnya.
“Muthia ini lagi jalan-jalan sambil nulis,” tambahnya lagi. Mereka bertiga
menyalami saya dengan hangat, sebelum kembali dengan kesibukan sendiri-sendiri.
Saya duduk menyelonjorkan kaki di
atas karpet yang digelar di depan televisi layar datar. Kantuk mulai merayu
pelupuk mata. Tempat tinggal mereka tidak terlalu besar, tapi auranya terasa
seperti rumah, yang menjadi saksi hening denyut rindu kampung halaman di
seberang samudra. Dengkuran halus terdengar dari ranjang tingkat di sudut.
Desis minyak panas di atas kompor jadi instrument pengantar tidur. Entah apa
yang sedang digoreng Ratna, aroma manisnya membuat ekor mata saya mencuri-curi
pandang kea rah dapur.
“Muthia, ajarin aku nulis, dong,”
ujar Mbak Sekar tiba-tiba, sambil ikut duduk di sebelah saya. Menata kue-kue
dari dalam plastik yang sedari tadi dibawa-bawanya ke atas piring kosong di
hadapan saya. “Aku sering nulis, awalnya buku harian begitu. Lama-lama coba
nulis cerpen, tapi pasti enggak bagus kalau dibandingkan kamu.”
“Wah, keren dong, Mbak, masih
sempat nulis. Masih sampai sekarang, Mbak? Kalau mau kirim saja nanti ke
email-ku, nanti bisa kita diskusikan kok isinya dan maunya Mbak Sekar nulis
yang bagaimana.” Saya sudah sering mendengar kabar bahwa pekerja migran asal
Indonesia di Hong Kong termasuk yang aktif dan produktif menulis. Rata-rata
menuliskan pengalaman dan gejolak kebatinan yang mereka rasakan sehari-hari.
Menulis memang seajaib itu, obat tenang jiwa yang lebih ampuh dari racikan
mahal apa pun. Tak selamanya apa yang disimpan kepala dan hati bisa terus bisa
ditahan-tahan untuk tak dikeluarkan. Menuangkannya dalam baris-baris aksara
berarti membagi beban hati-kepala kepada indra lainnya.
“Eh, beneran boleh kirim email? Apa
alamatnya?” Ia lalu buru-buru menggeledah tas tangannya, mencari selembar
kertas dan pena, menyorongkannya ke depan saya, yang segera saja saya isi
dengan alamat email saya. Saya mau menjadi tempatnya berbagi cerita dalam
deretan abjad, jika itu bisa membuatnya bahagia menjalani hari-hari perantauan.
“Apa yang biasa ditulis, Mbak?” tanya
saya, dengan tangan kanan mencomot sepotong kue yang disodorkan ke depan saya.
“Yah, pengalaman pribadi sih.
Awalnya aku nulis kecewa sama suami di kampung. Sudah jauh-jauh merantau, malah
ngabisin uang yang aku kirim. Mana anak jadi enggak keurus,” curhatnya.
“Lama-lama jadi ngerasa nulis itu ternyata lumayan bisa bikin lega hati dan
pikiran. Daripada dipendam, iya kan? Eh, jadi mau jalan-jalan? Aku bisa nemenin
sebentar,” tutup Mbak Sekar, seperti enggan melanjutkan lagi keluhnya. Saya
bisa apa, selain mengikuti saja kemauan sang nyonya rumah. Jika ingin dunia
tenteram damai, perempuan itu harus dituruti perubahan suasana hatinya, baru
bernegosiasi setelahnya.
“Saya sih senang banget, Mbak,
kalau mau nemenin. Perpustaan tuanya enggak jadi deh, kita ke Venesia saja
yuk,” sambut saya. Ya sudahlah, kali ini saya berbelok tujuan ke tepian Macau,
ke tempat jantung perekonomian kota ini berdegup kencang: mega kasino. Judi
adalah citra kota yang sebenarnya, deretan bangunan tua hanyalah kemasan humanisnya.
Seperti nadi utama yang tanpanya kota akan perlahan sekarat. Paling tidak,
begitulah keyakinan masyarakat setempat.
“Sekar, Mbak Muthia, aku pamit
jalan dulu ya,” pamit Rini tiba-tiba sambil keluar dari kamar. Sudah cantik
dalam dandanan semacam baju seragam dan pulasan make up tipis.
“Rini ini kerja di kasino yang
ada di depan pelabuhan feri, tadi kamu pasti ngelewatin,” terang Mbak Sekar.
“Kerja di kasino enak, Mbak,
gajinya lumayan, ada hari liburnya, bisa tinggal di luar juga. Nggak kayak
kalau jadi asisten rumah tangga, harus tinggal di dalam. Susah keluar,” sambung
Rini tanpa melihatku, sedang sibuk memasukkan kaki jenjangnya ke dalam sepatu
berhak tinggi. “Yowes, aku duluan ya, assalamualikum…” Dan ia pun berlalu
menuju hari-hari takdirnya sendiri.
“Kok Mbak Sekar bisa tinggal di
luar begini? Biasanya bukannya harus tinggal bareng sama majikan?” tanya saya
penasaran.
“Iya biasanya begitu, tapi
majikanku untungnya baik banget. Dia polisi. Jadi aku datang jam-jam tertentu
saja, yang penting beres. Mau cari kerja lain aku enggak terlalu punya skill.
Kadang aku iri lho sama perantau yang dari Filipina, mereka rata-rata
sudah bisa bahasa Inggris. Sudah gitu pemerintahnya di sini peduli banget,
sering ada kursus computer macam-macam. Makanya orang Filipina di sini dapat
kerjanya bagus-bagus. Kalau sudah bisa bahasa Inggris ditambah computer,
gampang kerja di kasino atau yang kantor. Kalau nggak ya paling di restoran
atau rumah tangga. Tapi, yah, paling enggak lebih enak di sini daripada di
Singapura atau Hong Kong, di sini mudah tinggal di luar dan cari rumah yang
masih lumayan terjangkau.” Terangnya panjang lebar.
“Memang KBRI sini enggak bikin
acara atau pelatihan rutin gitu, Mbak?” selidik saya penasaran.
“Jarang banget. Lebih seringnya
teman-teman di sini yang rutin biin acara. Kadang pengajian, kadang pentas
seni, kadang ya kumpul-kumpul saja bawa makanan sendiri-sendiri. Beda deh sama
kedutaan negara lain.”
Sudah lama sekali dipendam
sepertinya apa yang dicurahkan Mbak Sekar kepada saya barusan. Hidup di negeri
sendiri saja terkadang berat, apalagi hidup di negeri orang dengan segala
keterbatasannya. Megharap perwakilan resmi pemerintah untuk benar-benar peduli
menjaga dan memperjuangkan kesejahteraan mereka pun kadang seperti berharap
gaji bulanan naik setiap hari. Sia-sia. Jadi jangan salahkan jika peluang ini
dihisap oleh agen-agen penyalur tenaga kerja tak berizin yang tak jarang
semakin mempersulit hidup mereka.
“Sambil jalan, yuk, biar enggak
kesorean,” ajak Mbak Sekar sebelum saya sempat mangap mengajukan pertanyaan
lagi.
Saya membantu membereskan piring
kue ke dapur. Kardus mi instan tergeletak di sudut dapur. Ramuan pamungkas
penawar kangen. Beberapa barang di dapur tampat familier, mereka seperti ingin
memampatkan jarak di markas perlindungan ini. Agar seolah-olah mereka tinggal
bersebelahan dengan orang-orang terkasih di jauh sana. Seperih-perihnya hati
dilukai orang terdekat, tetap saja mendenyutkan rasa rindu ingin melihat muka.
Aroma cabe pedas bercampur sisa minyak goreng terjebak di atap dapur.
Mungkin saya sulit punya kesempatan
mampir lagi ke rumah mereka ini. Mungkin mereka hanya sekadar jadi orang-orang
asing yang bersilang jalan dengan saya dan tinggal menjadi kenangan. Sama
seperti nama-nama lainnya yang pernah singgah dan jadi bagian sejarah. Tapi
saya yakin Tuhan beri kesempatan untuk bertemu Mbak Sekar dan teman-temannya
dengan tujuan tertentu. Saya hanya perlu mencari tahu sebelum punggung kami
sama-sama membelakangi dan berjalan ke arah takdir masing-masing.
Sisa terik masih terasa di luar
ketika kami membuka pagar dan beranjak ke jalanan utama. Bagian dalam rumah
yang remang-remang, kontras dengan terang benderang suasana jelang sore. Riuh
derap sepatu di jalanan batu yang berpadu dengan segala macam bahasa, yang
tadinya teredam seketika di dalam rumah, kini kembali menyerbu gendang telinga.
Di ujung lorong, kami berbelok ke kanan, kembali ke area utama alun-alun tempat
halte bus berada. Saya menengok sekilas ke reruntuhan gereja St. Paul di kiri
saya, daya tarik utama kawasan ini. Arsitekturnya mirip dengan gereja-gereja
Katholik lama di sepenjuru Filipina. Spanyol dan Portugis, meski selalu
bersaing berabad-abad, tetap berbagi cinta dalam kemiripan gaya bangunannya. Jangan
benci dalam-dalam, jangan cinta sampai mati, karena bedanya tipis saja untuk
pindah perasaan.
Ketika melewati jalanan batu yang
menyempit dan sedikit menurun, saya bertemu lagi dengan para penjaga toko kue
dengan nampan testernya. Tak mau rugi, sambil mendengarkan cerita Mbak Sekar
yang berlanjut, aksi comot sana-sini tetap saya lancarkan. Kali ini korbannya
toko kue yang mencual biskuit mentega bertabur kacang walnut yang langsung kress, meremah lembut di dalam mulut. Terbaik!
Para pelancong tak lagi menjejali
jalanan, sebagin besar melipir masuk ke kafe-kafe di sepenjuru Senado Square.
Menikmati teh Oolong dengan sepiring penganan Portugis. Sambil membolak-balik
daftar tujuan wisata dan jadwal feri. Kami menunggu bus kota di halte pertama
tak jauh dari Senado Square. Tujuan kami adalah Venetian Macau. Ya, ya, ini
memang kasino, tapi yang terbesar di Macau, lengkap dengan pusat belanja,
hotel, dan sarana hiburan. Melongok sebentar tak masalah, kan?
“Katanya ada bus gratis ya,
Mbak?” Tanya saya penasaran dengan info yang sering say baca.
“Ada, tapi jarang. Naik umum
saja, murah kok,” jawab Mbak Sekar. Yah, namanya juga fasilitas gratis!
Bus nomor 21A yang ditunggu
berhenti presisi dengan decit rem yang keras di hadapan kami. Satu per satu
penumpang turun dan naik bergantian. Saya mengekor di belakang Mbak Sekar.
Dua kursi penumpang tersisa, yang
langsung saja kami tempati. Suara-suara balapan masih terdengar. Entah sudah
berapa kali para pembalap GP Formula 3 itu memutari rute yang sama. Berputar
terus demi podium pertama. Gedung-gedung tua yang disulap jadi hotel dan kasino
berselingan di kanan-kiri jalan raya. Dua orang perempuan Indonesia duduk di
depan kami. Bercakap tentang pekerjaan dan rencana kembali ke kampung. Nada
antusias dalam obrolan mereka sudah jadi jawaban betapa bahagianya si mbak yang
berencana mudik itu.
“Enggak berencana balik, Mbak?”
tanya saya melirik Mbak Sekar yang duduk dekat jendela.
Ia tak langsung menjawab, malah
tetap melempar pandangan ke luar jendela bus. Saya menyesal menyentuh bagian
dirinya yang paling sensitif. Siapa sih yang tak mau pulang ke rumah? Bodoh
sekali pertanyaan saya barusan.
“Pengin, pasti, tapi di sana
nanti ngapain? Suamiku katanya sudah kawin lagi. Padahal aku banting tulang
buat bantu keluarga. Karena sudah lama berantem terus itulah aku pindah-pindah
negara jadi TKW. Di Singapura pernah, di Hong Kong pernah. Pernah juga akhirnya
memutuskan pulang, tapi ya di sana malah jadi enggak produktif. Akhirnya balik
ke Hong Kong terus ke sini. Di sini sudah ngerasa nyaman, majikan baik,
pekerjaan bisa ngikutin. Lagian, kalau pulang ribet nanti urusan di bandara.
Yang malakin sadis!” kalimat terakhir diucapkannya dengan nada geram yang
tipis. Apa lagi ini?
“Maksudnya, Mbak?”
“Di bandara Jakarta TKW selalu
dimintain duit. Makanya rata-rata sebelum pulang uang sudah dikirim dulu ke
rekening di sana biar aman. Yang dibawa tinggal buat ongkos saja. Pernah, ada
temanku yang pulang bawa laptop yang baru dibeliin sama majikannya. Sampai
bandara Jakarta, mau keluar imigrasi, ditanya harga laptopnya berapa, disuruh
bayar senilai laptop itu! Gila, kan? Temanku marah-marah, kata dia itu laptop
dikasih sama majikannya karena dia suka nulis. Tahu enggak dia akhirnya gimana?
Dibanting itu laptop di depan si petugas sampai pecah berantakan, dilihatin
banyak orang. Terus dia langsung keluar.” Mbak sekar membuang pandangannya keluar
jendela, ke arah selat Macau yang ada di sisi kiri jembatan yang sedang kami
lewati. Seperti ingin membuang kesal jauh-jauh.
Kesal yang paling ultima adalah
ketika diri tak kuasa mengubah keadaan. Tak kuasa melawan sampai titik
penghabisan. Saya bingung mau berkomentar. Pengalaman
beraktivitas di sayap perempuan sebuah organisasi mahasiswa, rasanya tidak ada
apa-apanya dengan apa yang dialami Mbak Sekar dan teman-temanya. Wajar jika
mereka enggan pulang, tidak tertarik terlibat dalam pembangunan negerinya
sendiri dan malah berjibaku membangun negeri orang lain. Rasa rindu tanah air
dikaburkan dengan rasa takut berhadapan dengan oknum-oknum berseragam yang
katanya satu tanah air satu bangsa. Tak main-main taruhannya, tabungan setahun
yang dikumpulkan susah payah bisa musnah begitu saja jika tak pintar-pintar
menyiasati. Bayangkan saja, ada berapa ribu TKW lain yang tidak secerdik Mbak
Sekar dan teman-temannya di sini yang mengamankan dulu “asetnya” sebelum
pulang.
“Cari lagi saja, Mbak, di sini.
Siapa tahu ada cowok Macau ganteng kaya raya,” goda saya mengalihkan sedihnya.
“Ah, malas sama laki-laki. Paling
sama saja. Aku punya teman dekat kok di sini, cewek tapi, teman ngobrol dan
curhat saja sih. Cuma itu kan kadang yang perempuan butuhkan?” Jawabannya membuat
alis saya naik sebelah. Saya manggut-manggut saja.
“Mau lihat fotoku dulu?” Sebelum
saya sempat menjawab, ia sudah mengeluarkan telepon genggamnya, mencari folder
foto dan merapatkan tubuh lebih dekat ke arah saya. “Ini aku dulu, beda banget
ya?” Tawa renyahnya pecah lagi.
Di dalam foto-foto yang
disodorkannya kepada saya, bukan sosok perempuan berdandan seperti yang tadi
menyapa saya di alun-alun, melainkan sosok perempuan berambut pendek dicat
merah terang, dengan celana jean dan kemeja kotak-kotak, lengkap dengan gelang
ala penyanyi rock. Saya meliriknya, yang disambut dengan senyum lebar seolah
tahu apa yang ada dalam kepala saya.
“Kok berubah, Mbak?”
“Enggak tahu juga, pengin berubah
saja tiba-tiba. Itu dulu awal-awal di Hong Kong terus pindah ke sini. Dulu aku
dipanggilnya bukan Sekar, tapi Eka, biar lebih keren gitu,” kekehnya lagi.
Ingatan saya mundur ke belakang
beberapa jam lalu saat kami mampir di warung Indonesia. Pantas saja sepertinya
si ibu warung sempat menyinggung perubahan ini sambil memancing menggoda. Ah,
namanya manusia, berubah hal biasa. Semua punya alasan dan sebab, siapakah saya
hingga bisa cepat melabeli.
Ia lalu menekan lagi teleponnya
ke foto-foto lainnya, hingga tiba di sebuah foto dirinya berdua dengan seorang
perempuan. Mereka sedang berboncengan sepeda. Penampilan mirip dengan dengan
Mbak Sekar di foto-foto lamanya. Hanya tidak seeksentrik Mbak Sekar dengan
rambut merah dan gelang-gelang metal.
“Ini Dias, teman dekatku, yang
tadi kuceritakan,” jelasnya sambil mengusap layar teleponnya. Saya tak mau
menerjemahkan senyum malu-malu yang terbit dari bibirnya. Takut salah-salah.
“Kami punya rencana nabung
bersama, nanti pulang kampung bareng dan bikin usaha. Biar enggak usah balik
lagi ke sini. Buka warung dan semacamnya. Niatnya juga bulan depan dia tinggal
bareng aku di rumah. Rini kontraknya mau habis, katanya enggak perpanjang lagi.
Muthia punya pacar di Indonesia?”
Saya cuma menjawab dengan
senyuman. Ah, komplikasi hidup saya rasanya bukan untuk didengarnya. Kali ini
tugas saya jadi pendengar yang baik untuknya. Orang asing tempatnya menitipkan
cerita, rahasia, dan rencana, yang barangkali lebih dipercayainya dibandingkan
keluarga dan teman dekat. Kau akan terkejut ketika memahami betapa kadang kita
memang seperti itu, lebih percaya orang lain yang baru kita temui lima menit,
dibandingan orang yang bertahun-tahun menemani kita di segala musim.
Bangunan megah Venetian Macau
menjulang di hadapan bus yang perlahan melewati gerbang utamanya. Sepertinya
tinggal pelancong dan pegawai shif malam yang tersisa di atas bus.
“Aku temani sebentar terus aku
langsung jalan lagi ya, nanti dari sini gampang kok, naik langsung yang ke
pelabuhan atau kalau mau ke kota lagi juga gampang,” ucapnya ketika kami
bangkit bersiap turun.
Wajar saja para pengadu
keberuntungan gemar ke kasino ini. Balutan entertainnya kental sekali. Semua
ada di dalamnya. Pusat belanja, restoran, hotel kelas atas, area bermain dan
hiburan. Mereka pasti betah berhari-hari di sini tanpa keluar gedung. Hingga
keping terakhir musnah dilahap ketidakberuntungan. Tepat di tengah pusat belanja,
kanal luas yang dibuat semirip mungkin dengan Venesia dan gondolanya menjadi
tempat berkumpul utama para pengunjung.
“Sampai sini saja, ya, aku harus
balik lagi. Kalau mau lihat-lihat kasino di bawah boleh kok, ya lihat-lihat
saja. Sampai ketemu lagi, Muthia, nanti aku benar ya kirim email tulisanku,”
pamitnya.
“Siap, ditunggu lho, Mbak. Kalau
pas main ke Jakarta kabarin ya, makasih banyak sudah dibantu dan dtemani.”
Balas saya mengucap kata pisah.
“Pasti, salam buat kekasihmu
yaaa!” tutupnya sambil menyalami dan memeluk saya sekilas, lalu berbalik badan
bergegas mengejar bus berikutnya. Mengejar masa depan yang ia rencanakan
pelan-pelan, tak peduli sepahit apa hidup sudah memperlakukannya.
Saya menatapnya hingga tenggelam
ditelan serombongan turis asing yang baru masuk. Menatapnya sampai lenyap
sepenuhnya dari pandangan saya. Saya tahu tipis kemungkinan kami akan berjumpa
lagi. Dua orang yang sebelumnya asing, perlahan kembali asing.
Dan, saya pun akhirnya berbalik
badan, mencoba menulis lagi cerita baru dalam lembar kehidupan saya yang
berikutnya. Lembaran yang entah akan saya tulisi dengan kisah tentang apa.
Tentang siapa.
(esfand)
saya mbak dewi di samarindah
BalasHapusIni Kisah Cerita Saya yang benar2 terjadi (asli) bukan rekayasa
Saya sudah sangat lama bermain togel dan saya belum pernah merasakan
Kemenangan, karana saya selalu menggunakan prediksi atau rumusan tangan manusia
Jadi saya sudah kapok untuk menggunakan prediksi atau rumusan manusia lagi,
karna itupun selalu meleset , Jadi saya putuskan untuk coba2 buka internet dan akhirnya saya dapatnomor( AKI JOYO MALIK 085211977346 di internet.
Status beliau adalah paranormal sakti atau biasa di panggil dengan dukun togel.
Jadi saya langsung hubungi( KI JOYO MALIK dan meminta angka hasil ritual/Ghoib untuk putaran
Singapore. Awalnya saya Cuma meminta angka togel 2D, Karna baru kali ini saya meminta angka togel hasil ritual, dan saat itu saya masih ragu2 untuk mengirim mahar/pembelian peralatan ritual, di saat itulah saya berpikir unutuk memutuskan melaksanakan semua permintaan dari (AKI JOYO MALIK) karna saya sadar bahwa kalau ingin sukses/kaya membutuhkan kerja Keras dan pengorbanan,
dan akhirnya angka ritual yang di berikan mbah yaitu 2D (42)
Saya Cuma Coba2 pasang 200 ribu dulu. alhamdulillah saya menang 12 juta.
Dan ke esokan harinya saya meminta angka Ritual yang 4D ke mbah lagi, karena saya sudah sangat percaya dan yakin kepada mbah ,Untuk memasang yang Angka 4D yaitu (1737) saya pasang 300 ribu dan alhamdulillah akhirnya saya menang lagi 450 Juta…
Dan Saya Sangat Ber Terimah Kasih Kepada AKI Berkat Bantuan AKI saya bisa melunasi
Utang2 saya yang ada di bank dan akhirnya saya pun juga bisa buka usaha sendiri yaitu buka restoran. Dan saya juga berencana beli tanah kapling, dan bukan Cuma itu aja AKI JOYOMALIK.
sekali lagi terimah kasih. Karna rasa Hati yang gembira saya cantumkan nomor hp
AKI di internet, dan saya pun juga mengajat seluruh teman2 saya yang pecinta togel
untuk berkonsultasi sama AKI JOYO MALIK.. yang sering kalah bermain togel,
Silahkan HBG nomor 085 211 977 346 AKI JOYO MALIK
(-Terimah kasih Room nya temen2-)