Pages

Labels

Minggu, 31 Agustus 2014

Semuanya Tentang Menambah Mata




:Muthia Esfand

Apa yang ada dalam benak setiap pejalan sebelum ransel dan kopernya benar-benar siap digembok rapi? Tentang bla bla hikmah yang ingin ia kantungi? Kurasa tidak. Tentang makanan enak apa yang akan ia cicipi nanti dan kapan sebaiknya ia belanja oleh-oleh. Benar, kan? 

Semua orang begitu. Tapi, tunggu sampai ia mendapatkan bintang jatuh bernama pengalaman-sekali-seumur-hidup yang kuyakin tidak royal diberikan Tuhan kepada semua pejalan.

Tentu, aku juga bagian dari entah berapa peleton pejalan yang memulai “karier” dunia pelancongan karena godaan bernama AA. Inisial sebuah maskapai penerbangan bujet yang sejak kemunculan pertamanya sudah membuat banyak orang takluk kepada rayuan utamanya: tiket murah. Kau mungkin tak akan menemui binar mata secemerlang seorang traveler yang kegirangan dapat kursi gratis atau “sekadar” tiket PP murah menuju destinasi impiannya.

Hanya, aku bukan bagian dari kaum mata cemerlang itu. Well, meski saat pertama kali berkenalan dengan Air Asia aku langsung dapat hal yang diidam-idamkan para pemburu BIG SALE: free seat. Ketika itu, bukan main senangnya. Rasanya tak sabar menanti perjalanan ke beberapa negara dengan kursi gratis. Kepala sudah penuh bayangan rute, itinerary, hunting free map di airport, atau ransel ukuran berapa liter yang akan dibawa. Meskipun perjalanan itu masih setahun kemudian jadwalnya.

Perjalanan demi perjalanan menggunakan AA kulalui. Kebanyakan bersama seorang sahabat berinisial TDS. Kami berdua seperti sepasang pemburu tiket murah yang sering ketiban hoki. Membuat pemburu lainnya berdecak kagum bahkan men-sigh iri. Beri kami waktu satu jam saja di depan layar, satu demi satu kode booking bertarif minimum pun mengantre masuk email kami.

Kami menjelajah Phuket saat hujan deras sudah seminggu tak berhenti di sana. Kami memborong teh dan kopi di sebuah kios di Ben Than Market, Ho Chi Minh, hanya karena aroma wangi kopi yang baru digiling menyerbu hidung kami ketika melewatinya. Kami rela bangun pagi buta demi berdiri menghadap Angkor Wat dan menyaksikan matahari terbit di atasnya.

Ketika itu, tujuan perburuan tiket murah AA bagi kami hanya satu: melihat ada apa sebenarnya di negeri-negeri lain di luar sana. Kawan-kawan sesama pejalan memandang kami sebagai pasangan travelmate yang serasi. Tugasku adalah mencari tahu sejarah negeri yang akan kami tuju, lengkap dengan kondisi sosialnya, serta siap cas cis cus dengan bahasa Inggris untuk sekadar bertanya jalan. Tugas TDS adalah menyiapkan peta, mengatur bujet, dan booking penginapan. Kami bisa saling melengkapi.



Tak pernah bertikai? Jangan ditanya. Mana ada dua orang atau lebih traveler yang jalan bersama tanpa “sedikit” ketidaksepakatan”. Hal biasalah itu. tapi, tetap saja, ketika AA melempar lagi program tiket murahnya, kami kembali antusias merancang perjalanan selanjutnya.
Hidup terkadang memang benar-benar tak bisa ditebak. Kau tak bisa selamanya yakin setiap perjalanan yang kau rencanakan akan terlaksana dengan lancar dari A sampai Z. Kau tak bisa selamanya yakin, jika tiket murah yang kau dapat tahun ini, benar-benar akan kau gunakan tahun depan.

Entah setelah perjalanan yang keberapa puluh. Kami berdua mulai bersilang jalan. Bukan tentang perbedaan destinasi atau tanggal yang diinginkan untuk sesi perjalanan selanjutnya. Bukan. Kami bersilang jalan dalam kehidupan nyata kami. Kehidupan yang ternyata bukan melulu dari satu alat transportasi ke alat transportasi selanjutnya. Kehidupan yang bukan melulu tentang pilihan apakah magnit kulkas atau gantungan kunci yang akan dibeli untuk oleh-oleh.

Kami pun memutuskan untuk mengambil pilihan jalan kami masing-masing. Padahal, beberapa tiket AA dalam email kami menunggu waktu keberangkatan. Satu destinasi terdekat ketika itu adalah rute Jakarta-Makassar saat AA baru saja membuka rute penerbangan ke kota tempat para petualang kuno berasal.

Terus terang, aku butuh rehat dari pekerjaan kantor, dan rasanya malas untuk membuka laptop mencari-cari tiket lagi. Ingatan langsung tertuju kepada tiket Jakarta-Makassar itu. Sanggupkah aku pergi? Padahal bisa saja TDS juga punya niat yang sama. Sejak menangggalkan label “travelmate” kami memang sangat jarang bertukar sapa apalagi rencana. Bayangan tentang menyusuri deretan kars di kawasan Ramang-Ramang, Maros, mengisi kepalaku penuh-penuh. Akhirnya, kuniatkan hati mengepak ransel, mengeluarkan lagi sepasang sandal gunung warna pink-ungu, dan buru-buru web chek in sehari sebelum keberangkatan.

Kau pernah merasakan duduk sendiri menunggu keberangkatan di bandara, padahal di seberang bangku panjangmu duduk seseorang yang pernah berkali-kali menemani momen menunggumu? Dan yang kalian berdua lakukan diam pura-pura tak acuh? Kau pernah merasakan duduk bersisian di atas pesawat Air Asia yang bernuansa merah cerah,  dengan seseorang yang pernah menemanimu berlari kencang sepanjang bandara demi pesawat yang sudah mulai boarding, tetapi yang kalian lakukan hanyalah duduk tegak dengan muka lurus ke depan, sambil berusaha kerasa agar tidak saling bersenggolan?

Dan, pernahkah kau merasakan dua momen semacam itu, DUA KALI? Pergi-pulang? Berdoalah semoga tidak akan pernah. Jika tidak berusaha “jaim” di depan pramugari-paramugara AA yang berseliweran siap membantu di atas pesawat, aku mungkin sudah meminta setumpuk tisu kepada mereka untuk menumpahkan air mata yang tertahan sepanjang penerbangan. Kalau aku nekat meminjam bahu salah satu di antara mereka, aku yakin juga pasti boleh.

Itu rute terakhir kami. Setelah itu tak pernah sekali pun kami berada dalam satu pesawat yang sama. Sengaja atau tidak. Ia makin pesat dengan usaha travelingnya, aku makin sibuk dengan naskah-naskah fantasi di atas meja. Bertahun kemudian, saat kami masing-masing punya travelmate baru, aku masih berusaha mencerna tentang apa itu semua sebenarnya. Tentang apa sebenarnya semua perjalanan yang terlalui itu.

Pada akhirnya aku tahu, semua itu tentang kesempatan. Kesempatan yang datang dengan perantara maskapai merah ini. Kesempatan untuk tidak sekadar hidup dengan satu “mata”, tapi lebih dari satu. Punya mata yang berlebih, membuat kita bisa melihat orang lain dan sekitar kita dengan berbagai sudut pandang. Membuat kita tak gagap menyikapi perbedaan. Membuat kita sadar, ini dunia yang harus kita bagi bersama.

Jika aku tak pernah mengalami hebohnya berburu tiket AA bersama TDS, apakah aku akan merasakan tertawa lepas saat disiram seember air oleh penduduk setempat ketika berjalan-jalan pada hari Songkran? Jika aku tak pernah antusias mengikuti info promo di sosial media AA, apakah aku akan merasakan rasa bersyukur punya negara yang dilimpahi pemandangan memukau setelah kembali dari negeri yang tak punya pantai berpasir terigu putih? Jika aku tak tergoda AA sedari awal, apakah aku akan tahu makna sebuah persahabatan?

Travelmate berganti, euforia melancong mulai mendewasa. Satu yang tak berubah, maskapai merah favorit.




0 komentar:

Posting Komentar