:Muthia
Esfand
Apa
yang ada dalam benak setiap pejalan sebelum ransel dan kopernya benar-benar
siap digembok rapi? Tentang bla bla hikmah yang ingin ia kantungi? Kurasa
tidak. Tentang makanan enak apa yang akan ia cicipi nanti dan kapan sebaiknya
ia belanja oleh-oleh. Benar, kan?
Semua
orang begitu. Tapi, tunggu sampai ia mendapatkan bintang jatuh bernama
pengalaman-sekali-seumur-hidup yang kuyakin tidak royal diberikan Tuhan kepada
semua pejalan.
Tentu,
aku juga bagian dari entah berapa peleton pejalan yang memulai “karier” dunia
pelancongan karena godaan bernama AA. Inisial sebuah maskapai penerbangan bujet
yang sejak kemunculan pertamanya sudah membuat banyak orang takluk kepada
rayuan utamanya: tiket murah. Kau mungkin tak akan menemui binar mata
secemerlang seorang traveler yang kegirangan dapat kursi gratis atau “sekadar”
tiket PP murah menuju destinasi impiannya.
Hanya,
aku bukan bagian dari kaum mata cemerlang itu. Well, meski saat pertama kali berkenalan dengan Air Asia aku
langsung dapat hal yang diidam-idamkan para pemburu BIG SALE: free seat. Ketika itu, bukan main
senangnya. Rasanya tak sabar menanti perjalanan ke beberapa negara dengan kursi
gratis. Kepala sudah penuh bayangan rute, itinerary,
hunting free map di airport, atau ransel ukuran berapa liter
yang akan dibawa. Meskipun perjalanan itu masih setahun kemudian jadwalnya.
Perjalanan
demi perjalanan menggunakan AA kulalui. Kebanyakan bersama seorang sahabat
berinisial TDS. Kami berdua seperti sepasang pemburu tiket murah yang sering ketiban
hoki. Membuat pemburu lainnya berdecak kagum bahkan men-sigh iri. Beri kami waktu satu jam saja di depan layar, satu demi
satu kode booking bertarif minimum pun mengantre masuk email kami.
Kami
menjelajah Phuket saat hujan deras sudah seminggu tak berhenti di sana. Kami
memborong teh dan kopi di sebuah kios di Ben Than Market, Ho Chi Minh, hanya
karena aroma wangi kopi yang baru digiling menyerbu hidung kami ketika
melewatinya. Kami rela bangun pagi buta demi berdiri menghadap Angkor Wat dan
menyaksikan matahari terbit di atasnya.
Ketika
itu, tujuan perburuan tiket murah AA bagi kami hanya satu: melihat ada apa
sebenarnya di negeri-negeri lain di luar sana. Kawan-kawan sesama pejalan
memandang kami sebagai pasangan travelmate
yang serasi. Tugasku adalah mencari tahu sejarah negeri yang akan kami tuju,
lengkap dengan kondisi sosialnya, serta siap cas cis cus dengan bahasa Inggris
untuk sekadar bertanya jalan. Tugas TDS adalah menyiapkan peta, mengatur bujet,
dan booking penginapan. Kami bisa
saling melengkapi.
Tak
pernah bertikai? Jangan ditanya. Mana ada dua orang atau lebih traveler yang
jalan bersama tanpa “sedikit” ketidaksepakatan”. Hal biasalah itu. tapi, tetap
saja, ketika AA melempar lagi program tiket murahnya, kami kembali antusias
merancang perjalanan selanjutnya.
Hidup
terkadang memang benar-benar tak bisa ditebak. Kau tak bisa selamanya yakin
setiap perjalanan yang kau rencanakan akan terlaksana dengan lancar dari A
sampai Z. Kau tak bisa selamanya yakin, jika tiket murah yang kau dapat tahun
ini, benar-benar akan kau gunakan tahun depan.
Entah
setelah perjalanan yang keberapa puluh. Kami berdua mulai bersilang jalan.
Bukan tentang perbedaan destinasi atau tanggal yang diinginkan untuk sesi
perjalanan selanjutnya. Bukan. Kami bersilang jalan dalam kehidupan nyata kami.
Kehidupan yang ternyata bukan melulu dari satu alat transportasi ke alat
transportasi selanjutnya. Kehidupan yang bukan melulu tentang pilihan apakah
magnit kulkas atau gantungan kunci yang akan dibeli untuk oleh-oleh.
Kami
pun memutuskan untuk mengambil pilihan jalan kami masing-masing. Padahal,
beberapa tiket AA dalam email kami menunggu waktu keberangkatan. Satu destinasi
terdekat ketika itu adalah rute Jakarta-Makassar saat AA baru saja membuka rute
penerbangan ke kota tempat para petualang kuno berasal.
Terus
terang, aku butuh rehat dari pekerjaan kantor, dan rasanya malas untuk membuka
laptop mencari-cari tiket lagi. Ingatan langsung tertuju kepada tiket Jakarta-Makassar
itu. Sanggupkah aku pergi? Padahal bisa saja TDS juga punya niat yang sama. Sejak
menangggalkan label “travelmate” kami memang sangat jarang bertukar sapa
apalagi rencana. Bayangan tentang menyusuri deretan kars di kawasan
Ramang-Ramang, Maros, mengisi kepalaku penuh-penuh. Akhirnya, kuniatkan hati
mengepak ransel, mengeluarkan lagi sepasang sandal gunung warna pink-ungu, dan
buru-buru web chek in sehari sebelum
keberangkatan.
Kau
pernah merasakan duduk sendiri menunggu keberangkatan di bandara, padahal di
seberang bangku panjangmu duduk seseorang yang pernah berkali-kali menemani
momen menunggumu? Dan yang kalian berdua lakukan diam pura-pura tak acuh? Kau
pernah merasakan duduk bersisian di atas pesawat Air Asia yang bernuansa merah
cerah, dengan seseorang yang pernah
menemanimu berlari kencang sepanjang bandara demi pesawat yang sudah mulai
boarding, tetapi yang kalian lakukan hanyalah duduk tegak dengan muka lurus ke
depan, sambil berusaha kerasa agar tidak saling bersenggolan?
Dan,
pernahkah kau merasakan dua momen semacam itu, DUA KALI? Pergi-pulang?
Berdoalah semoga tidak akan pernah. Jika tidak berusaha “jaim” di depan
pramugari-paramugara AA yang berseliweran siap membantu di atas pesawat, aku
mungkin sudah meminta setumpuk tisu kepada mereka untuk menumpahkan air mata
yang tertahan sepanjang penerbangan. Kalau aku nekat meminjam bahu salah satu
di antara mereka, aku yakin juga pasti boleh.
Itu
rute terakhir kami. Setelah itu tak pernah sekali pun kami berada dalam satu
pesawat yang sama. Sengaja atau tidak. Ia makin pesat dengan usaha
travelingnya, aku makin sibuk dengan naskah-naskah fantasi di atas meja.
Bertahun kemudian, saat kami masing-masing punya travelmate baru, aku masih berusaha mencerna tentang apa itu semua
sebenarnya. Tentang apa sebenarnya semua perjalanan yang terlalui itu.
Pada
akhirnya aku tahu, semua itu tentang kesempatan. Kesempatan yang datang dengan
perantara maskapai merah ini. Kesempatan untuk tidak sekadar hidup dengan satu “mata”,
tapi lebih dari satu. Punya mata yang berlebih, membuat kita bisa melihat orang
lain dan sekitar kita dengan berbagai sudut pandang. Membuat kita tak gagap
menyikapi perbedaan. Membuat kita sadar, ini dunia yang harus kita bagi
bersama.
Jika
aku tak pernah mengalami hebohnya berburu tiket AA bersama TDS, apakah aku akan
merasakan tertawa lepas saat disiram seember air oleh penduduk setempat ketika
berjalan-jalan pada hari Songkran? Jika aku tak pernah antusias mengikuti info promo
di sosial media AA, apakah aku akan merasakan rasa bersyukur punya negara yang
dilimpahi pemandangan memukau setelah kembali dari negeri yang tak punya pantai
berpasir terigu putih? Jika aku tak tergoda AA sedari awal, apakah aku akan
tahu makna sebuah persahabatan?
Travelmate
berganti, euforia melancong mulai mendewasa. Satu yang tak berubah, maskapai
merah favorit.
0 komentar:
Posting Komentar